Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah Halaqah 01 - 05

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah

Halaqah 01 ~ Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 1

Halaqah 02 ~ Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 2

Halaqah 03 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 1

Halaqah 04 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 2

Halaqah 05 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 3


👤 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

Halaqah 01 ~ Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 1

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang pertama dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah)

Kita akan bersama-sama mempelajari sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh yaitu kitāb yang berjudul Al-Ushūlul As-Sittah.

• Al-Ushūlul As-Sittah atau enam kaidah

Kitāb ini termasuk karangan beliau yang sangat bermanfaat, kitāb ini ringkas akan tetapi mengandung banyak faedah. Dan hendaknya seorang muslim mengetahui faedah-faedah ini.

Didalam kitāb ini, beliau menyebutkan enam perkara yang sangat penting.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi adalah seorang ulamā yang lahir pada tahun 1115 Hijriyyah.

Beliau menimba ilmu agama semenjak kecil dan diantara gurunya adalah bapak beliau sendiri, demikian pula ulamā-ulamā besar yang lain di zaman beliau, seperti Syaikh Muhammad Al Hayah, As Sindi, dan juga yang lain.

Dan didalam mencari ilmu, beliau telah pergi ke beberapa daerah diantaranya ke Bashrah, demikian pula ke daerah-daerah di Hijaz seperti Mekkah dan juga Madīnah dan menimba ilmu dari para ulamā yang tinggal disana.

Dan hampir-hampir beliau menuju ke kota Syām (daerah Syām) untuk menimba ilmu, hanya karena ada rintangan dan halangan tertentu akhirnya beliau mengurungkan niatnya.

Dan beliau termasuk ulamā yang gigih didalam menghidupkan Al Qurān, As Sunnah, mengajak manusia kembali kepada Allāh, bertauhīd kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Beliau (rahimahullāh) meninggal pada tahun 1206 Hijriyyah. Dan telah meninggalkan banyak karangan (yang sangat bermanfaat).

Diantaranya adalah:

√ Al Ushūluts Tsalātsah
√ Al Qawā’idul Arba’
√ Ushūlul Imān
√ Kasyfusy Syubuhāt
√ Kitābut Tauhīd

Dan diantaranya kitāb yang in syā Allāh akan kita pelajari yaitu Al-Ushūlu As-Sittah (enam kaidah).

Beliau berkata:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Memulai kitābnya dengan basmallāh.

Meniru dan mengikuti apa yang Allāh lakukan didalam Al Qurānul Karīm, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla memulai kitābnya dengan basmallāh.

Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau menulis surat yang isinya adalah dakwah kepada raja-raja yang ada di zaman beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) beliau memulai kitābnya dengan basmallāh.

Oleh karena itu disini pengarang memulai kitāb nya dengan basmallāh بسم الله الرحمن الرحيم

Dan ba (ب) disini adalah (ب) al isti’ānah yaitu (ب) yang fungsinya adalah memohon pertolongan.

Orang yang mengatakan (بسم اللّه الرحمن الرحيم ) pada hakikatnya dia telah memohon pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla

• Ismillāh dengan nama Allāh.

Kalimat mufrad yang tunggal yaitu ism dan dia disandarkan pada kalimat lafdzu jalālah dan maknanya adalah mencakup seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Orang yang mengatakan بسم الله الرحمن الرحيم berarti dia telah beristi’ānah (memohon) pertolongan dengan seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

• Allāh (lafdzu jalālah).

Allāh (lafdzu jalālah) adalah nama Allāh yang paling a’dham (paling besar) yang disandarkan kepadanya nama-nama Allāh yang lain.

Oleh karena itu setelahnya disebutkan Ar-rahmān Ar-rahīm dan Ar-rahmān Ar-rahīm adalah nama diantara nama-nama Allāh. Diambil dari Ar-rahmāh yang artinya kasih sayang.

• Perbedaan Ar-rahmān dan Ar-rahīm

Perbedaan antara Ar-rahmān dengan Ar-rahīm disebutkan oleh para ulamā diantaranya,

√ Ar-rahmān adalah kasih sayang Allāh yang lebih umum mencakup orang yang beriman dan mencakup orang yang kāfir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⇒ Orang kāfir juga mendapatkan bagian dari kasih sayang dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh memberikan rejeki kepada mereka, memberikan makan kepada mereka, memberikan minum kepada mereka, memberikan kesehatan kepada mereka, memberikan anak, memberikan istri, memberikan harta, dan ini semua adalah termasuk kasih sayang Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

√ Ar-rahīm, maka mengandung rahmat mengandung kasih sayang yang lebih khusus yaitu kasih sayang yang Allāh berikan kepada orang-orang yang beriman.

⇒ Berupa hidayah kepada jalan yang lurus, berupa keimanan, berupa rasa tenang ketika dzikrullāh.

Ini semua adalah kasih sayang Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan tetapi dikhususkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada orang-orang yang beriman dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini, semoga yang sedikit ini bermanfaat.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


Halaqah 02 ~ Muqaddimah Ushulu AsSittah Bagian 2

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang kedua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Kemudian beliau rahimahullāh mengatakan:

مِنْ أَعْجَبِ الْعُجَابِ ، وَأَكْبَرِ الآيَاتِ الدَّالَةِ عَلَى قُدْرَةِ الْمَلِكِ الْغَلَّابِ سِتَّةُ أُصُوْلٍ بَيَّنَهَا اللهُ تَعَالَى بَيَانًا وَاضِحًا لِلْعَوَامِّ فَوْقَ مَا يَظُنُّ الظَّانُّوْنَ

“Termasuk sesuatu yang paling mengherankan (yang paling menakjubkan) dan termasuk tanda-tanda kekuasaan Allāh yang paling besar yang menunjukkan tentang kekuasaan Allāh Dzat yang Maha Menguasai.

Perkara-perkara atau pokok-pokok yang di jelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan penjelasan yang sangat jelas bagi orang-orang awam di atas apa yang disangka oleh orang-orang yang menyangka”

Beliau (rahimahullāh) mengatakan:

Termasuk sesuatu yang mengherankan dan menakjubkan dan menunjukkan kekuasaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah perkara-perkara pokok yang dijelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qurān dengan penjelasan yang sangat jelas bahkan dipahami oleh orang-orang awam (orang-orang yang biasa didalam kecerdasannya) diatas dari apa yang disangka oleh orang-orang yang menyangka.

ثُمَّ بَعْدَ هَذَا غَلِطَ كثير من أَذْكِيَاءُ الْعَالَمِ

“Kemudian setelah itu salahlah kebanyakan dari orang-orang yang cerdas diantara manusia ini”

وَعُقَلَاءُ بَنِيْ آدَمَ

“Dan orang-orang yang berakal dari anak-anak Ādam”

إِلَّا أَقَلَّ الْقَلِيْلِ

“Kecuali sedikit saja diantara mereka”

Maksud dari ucapan beliau rahimahullāh didalam muqaddimah kitāb beliau ini, adalah,

“Bahwasanya disana ada perkara-perkara (enam perkara) yang telah Allāh jelaskan didalam Al Qurānul Karīm dengan penjelasan yang sangat jelas (saking jelasnya) perkara-perkara ini dipahami oleh orang-orang yang awam atau kasarannya orang yang bodoh orang yang Jāhil. Tetapi banyak diantara orang-orang cerdas salah didalam memahami perkara ini.”

⇒ Dipahami oleh sebagian orang (bahkan orang yang awam) akan tetapi disana ada orang cerdas (bahkan di anggap pintar dan ulamā oleh sebagian manusia) dia salah didalam memahami enam perkara ini.

(Ini adalah maksud dari ucapan beliau rahimahullāh didalam muqaddimah kitāb ini)

Sebelum beliau menyebutkan enam perkara ini, beliau ingin menyampaikan kepada kita, (mengingatkan kepada kita) bahwasanya perkara-perkara yang akan beliau sebutkan dipahami oleh orang awam akan tetapi banyak orang yang cerdas dan mengaku dia adalah pengemban ilmu agama ternyata dia salah didalam memahami perkara tersebut.

Dan ini menunjukkan bahwasanya,

“Hidayah dan taufīq adalah ditangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak berkaitan dengan kecerdasan seseorang”

Terkadang Allāh Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan al haq (kebenaran) kepada seorang (yang mungkin) diantara manusia sebagai orang yang awam. Namun Allāh mengharamkan kebenaran ini dari sebagian orang yang dianggap sebagai orang yang cerdas.

Dan ini menunjukkan bahwasanya hidayah dan taufīq (petunjuk) adalah ditangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآء

“Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang dikehendaki, dan memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki”

(QS. An Nahl: 93/QS. Fāthir: 8)

√ Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang dikehendaki.

Meskipun dia orang yang cerdas, orang yang pintar, orang yang genius, dan memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki.

√ Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki.

Meskipun dia orang yang awam (dianggap terbelakang) oleh sebagian orang, tetapi kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkehendak untuk memberikan hidayah kepadanya niscaya dia termasuk orang yang mendapatkan petunjuk.

Dan ini menjadikan kita untuk senantiasa merendahkan diri kita dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, meminta hidayah kepada-Nya.

√ Kita jangan bertawakal dengan ilmu yang kita miliki.

√ Kita jangan bertawakal dengan kecerdasan yang kita miliki.

Kita harus meminta petunjuk kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, supaya Allāh menunjukkan kepada kita kebenaran dan menjauhkan kita dari syubhat dan juga kebathilan.

Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


 Halaqah 03 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 1

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang ketiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Kemudian beliau rahimahullāh menyebutkan perkara yang pertama yang dipahami oleh orang-orang awam dikalangan kaum muslimin akal tetapi banyak orang-orang cerdas yang tidak memahami perkara ini.

Beliau mengatakan:

اَلْأَصْلُ الْأَوَّلُ : إِخْلَاصُ الدِّيْنِ لِلهِ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لهُ ، وَبَيَانُ ضِدِّهِ الذِيْ هُوَ الشِّرْكُ بِاللهِ

• Perkara yang pertama | Mengikhlāskan agama untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla (tidak ada sekutu baginya) dan menjelaskan lawan dari keikhlāsan ini adalah syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Diantara perkara yang sudah Allāh jelaskan didalam Al Qurān dengan penjelasan yang gamblang (penjelasan sangat jelas) adalah,

إِخْلَاصُ الدِّيْنِ لِلهِ تَعَالَى

Mengikhlāskan agama ini hanya untuk Allāh (tidak ada sekutu bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla) juga menjelasan tentang bahaya syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ini semua Allāh sebutkan dengan jelas didalam Al Qurān.

وَكَوْنُ أَكْثَرِ الْقُرْآنِ فِي بَيَانِ هَذَا الْأَصْلِ مِنْ وُجُوْهٍ شَتَّى بِكَلَامٍ يَفْهَمُهُ أَبْلَدُ الْعَامَّةِ

Kata beliau:

Dan bahwasanya sebagian besar ayat-ayat Al Qurān adalah untuk menjelaskan perkara ini.

Menjelaskan tentang;

⑴ Ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam ibadah.

⑵ Menjelaskan tentang bahayanya kesyirikan di dalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

مِنْ وُجُوْهٍ شَتَّى

“Dalam bentuk-bentuk yang sangat berbeda dan cara yang berbeda”

(Artinya) Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qurān menjelaskan tentang perkara ini dalam berbagai cara dan berbagai penjelasan.

بِكَلَامٍ يَفْهَمُهُ أَبْلَدُ الْعَامَّةِ

“Dengan ucapan yang dipahami (bahkan orang yang paling bodoh diantara orang-orang awam)”

⇒ Menunjukkan tentang bagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla (sangat) menjelaskan perkara ini didalam Al Qurān, sampai orang yang paling bodohpun kata beliau juga memahami ucapan ini.

Yaitu tentang masalah,

√ Tauhīd
√ Bahayanya kesyirikan

Sebagian ulamā mengatakan semua isi Al Qurān adalah tentang tauhīd (dari awal sampai akhir).

Diantara buktinya adalah surat yang pertama (Al Fātihah) demikian pula surat yang terakhir (An Nās) isinya tentang masalah tauhīd.

Al Fātihah isinya penuh dengan makna tauhīd.

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ۞ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ ۞ مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ ۞ إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ

Didalamnya ada:

√ Tauhīd Asmā’ wa Shifat
√ Tauhīd rubūbiyah
√ Tauhīd al ulūhiyyah.

إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ

“Hanya kepada Mu lah Yā Allāh, kami menyembah dan hanya kepada-Mulah (Yā Allāh) kami memohon pertolongan.”

Demikian pula surat yang terakhir An Nās,

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ۞ مَلِكِ ٱلنَّاسِ

Ini semua adalah tauhīd kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla (meminta perlindungan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla) Raja manusia sesembahan manusia.

⇒ Semua surat didalam Al Qurān isinya adalah tentang tauhīd.

√ Penjelasan tentang bagaimana keutamaan tauhīd.

√ Penjelasan bagaimana cara bertauhīd.

√ Penjelasan tentang bahaya kesyirikan (apa bentuk kesyirikan).

√ Penjelasan tentang akibat dan pahala bagi orang yang bertauhīd dan adzab bagi orang yang berbuat syirik.

Bahkan kisah-kisah yang ada didalam Al Qurān banyak diantaranya yang berkaitan dengan masalah tauhīd.

Bagaimana kisah nabi Nūh alayhissallām?

Kisahnya adalah bagaimana beliau berdakwah dan mendakwahi umatnya kepada tauhīd.

Demikian pula kisah nabi Shālih, nabi Hūd, nabi Syuaib dan juga nabi-nabi yang lain.

Kalau kita tadabburi ternyata Al Qurān semua adalah masalah tauhīd (mengikhlāskan ibadah untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla) dan tentang bahaya kesyirikan.

Namun ternyata banyak diantara manusia yang tidak memahami tentang perkara ini.

Bahkan kata beliau disini, termasuk orang yang cerdas diantara mereka.

Kenapa demikian?

Diantara sebabnya adalah:

⑴ Al ‘irab (seseorang berpaling dari agama Allāh Subhānahu wa Ta’āla).

Tidak mau mempelajari agama Allāh, sibuk dengan yang lain (sibuk dengan dunianya, sibuk dengan hobbynya).

Dan dia berpaling tidak mau menekuni dan tidak mau mempelajari agama Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑵ Al Kibr (sombong).

Dia mengetahui kebenaran akan tetapi dia tidak mau mengamalkan dan menerima kebenaran tersebut.

Sebagaimana dilakukan oleh Iblīs ketika diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk melakukan sujud (penghormatan) kepada nabi Ādam alayhissallām akan tetapi iblīs sombong, dan Iblīs termasuk orang-orang yang kāfir.

Diantara sebabnya adalah dua perkara ini,

⑴ Berpaling dari mempelajari agama Allāh
⑵ Al Kibr (sombong dan tidak mau mengamalkan kebenaran).

Al Qurān diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tujuan utamanya adalah untuk di amalkan, ditadabburi, dipahami (bukan sekedar dibaca atau diperbaiki tajwidnya atau diambil berkahnya ketika membacanya).

Semua itu adalah termasuk kebaikan akan tetapi bukan tujuan utama diturunkannya Al Qurān.

Tujuan utama diturunkannya Al Qurān adalah untuk ditadabburi kemudian diamalkan didalam kehidupan kita sehari-hari.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ

“Kitāb (Al Qur’ān) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

(QS. Sad: 29)

Demikianlah Al Qurān diturunkan bukan sekedar dibaca dengan tajwid dengan tartil akan tetapi seseorang yang membacanya jauh dari mengamalkan Al Qurān tersebut.

Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Halaqah 04 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 2

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang keempat dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah)

Kita akan bersama-sama mempelajari sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh yaitu kitāb yang berjudul Al-Ushūlul As-Sittah.

Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:

ثُمَّ لَمَّا صَارَ عَلَى أَكْثَرِ الْأُمَّةِ مَا صَارَ . أَظْهَرَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ الْإِخْلَاصَ فِي صُوْرَةِ تَنَقُّصِ الصَّالِحِيْنَ وَالتَّقْصِيْرِ فِي حُقُوْقِهِمْ، وَأَظْهَرَ لَهُمُ الشِّرْكَ بِاللهِ فِي صُوْرَةِ مَحَبَّةِ الصَّالِحِيْنَ وَاتِّبَاعِهِمْ

“Kemudian ketika menimpa umat ini berupa kejahilan dan lain-lain, maka syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya keikhlāsan dan tauhīd ini adalah sebagai bentuk penghinaan dan peremehan terhadap orang-orang shālih.

Ketika menimpa umat ini kebodohan,
mereka jauh dari ilmu agama, mereka jauh dari bimbingan para ulamā, mereka jauh dari petunjuk Al Qurān dan hadīts.

Maka syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya tauhīd (meng Esa kan Allāh Subhānahu wa Ta’āla) artinya adalah,

√ Meremehkan orang-orang yang shālih.
√ Meremehkan hak-hak meraka.

Ini adalah salah satu bentuk talbis dari syaithān dalam usaha menyesatkan manusia.

Syaithān menampakkan dimata manusia bahwasanya,

√ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati orang yang shālih.
√ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati nabi.
√ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati wali.

Dan untuk memperjelas perkara ini kita terangkan kembali, bagaimana kisah nabi Nūh alayhissallām bersama kaumnya.

Dan bagaimana awal terjadinya kesyirikan dipermukaan bumi ini.

Dizaman nabi Nūh alayhissallām ada lima orang shālih yang dikenal oleh kaumnya dengan ibadah, amalan, dan keshālihannya.

Ketika mereka (lima orang shālih) meninggal dunia datanglah syaithān dan mewahyukan kepada mereka (kaum nabi Nūh alayhissallām) supaya mereka membuat patung-patung, kemudian patung-patung itu diberi nama dengan nama orang-orang shālih tersebut.

Tujuannya apa?

Tujuannya adalah ketika mereka malas beribadah, kemudian mereka melihat patung-patung orang shālih tersebut berada dihadapan mereka (di majelis mereka) diharapkan mereka bisa bersemangat dan mengingat kembali keshālihan mereka (patung-patung tersebut) sehingga mereka (kaum nabi Nūh alayhissallām) bisa bersemangat didalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ketika generasi ini meninggal dunia, syaithān datang kembali dan mengatakan kepada mereka, “bahwasanya bapak-bapak kalian dahulu membuat patung-patung ini, tujuannya adalah untuk diibadahi dan disembah”

Dan telah dilupakan ilmu, akhirnya mereka menyembah orang-orang shālih tersebut yang mereka buat simbolnya berupa patung-patung.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَقَالُوا۟ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّۭا وَلَا سُوَاعًۭا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًۭا

Dan mereka berkata: “Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah kalian tinggalkan Waddan, Suwā’an, Yaghūts dan Ya’ūq dan juga Nasr”

(QS. Nūh: 23)

Mereka ini adalah lima nama orang shālih
(Waddan, Suwā’an, Yaghūts, Ya’ūq dan Nasr) setelah mereka meninggal dunia, kemudian mereka disembah oleh kaumnya nabi Nūh alayhissallām.

Ketika terjadi kesyirikan pertama kali dipermukaan bumi yang dilakukan oleh kaum nabi Nūh alayhissallām, Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengutus nabi Nūh yang merupakan rasūl yang pertama.

Allāh mengutus nabi Nūh alayhissallām kepada mereka (kaumnya) untuk mengajak mereka (kaumnya) kembali kepada tauhīd dan menjauhkan kesyirikan.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُ

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nūh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allāh, (karena) tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) bagimu selain Dia.”

(QS. Al Mu’minun: 23)

Beliau (nabi Nūh) mengajak mereka untuk kembali kepada Allāh, mengingatkan umatnya siang dan malam dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan selama bertahun-tahun (950 tahun), mengajak mereka untuk bertauhīd dan meng Esakan ibadah ini hanya untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Mengingatkan mereka bahwasanya ini termasuk perbuatan syirik yang tidak diridhāi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla (meskipun yang mereka sembah adalah orang-orang shālih)

Namun ternyata yang mengikuti dakwah dan ajakan beliau sedikit, karena mereka menganggap apabila mereka hanya menyembah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, seakan-akan mereka telah meremehkan orang-orang yang shālih, menghinakan kedudukan mereka dan telah merendahkan mereka. (Ini adalah termasuk talbis dari iblīs laknatullāh).

Mengangap (menunjukkan) dimata manusia bahwasanya ikhlās kepada Allāh berarti harus meremehkan dan merendahkan kedudukan orang-orang yang shālih.

Oleh karena itu banyak diantara mereka yang menolak dakwah nabi Nūh alayhissallām seperti yang tadi disebutkan.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ……..

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian”.

(QS. Nūh: 23)

Mereka saling berwasiat diantara mereka,

√ Kita harus menghormati orang yang shālih
√ Kita harus menjunjung tinggi kedudukan mereka.

Apabila diminta dan diseru hanya menyembah kepada Allāh, hati mereka resah, hati mereka gelisah.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَإِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَحۡدَهُ ٱشۡمَأَزَّتۡ قُلُوبُ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِۖ وَإِذَا ذُكِرَ ٱلَّذِينَ مِن دُونِهِۦٓ إِذَا هُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ

“Dan apabila yang disebut hanya nama Allāh kesal sekali hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allāh yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira”

(QS. Az-Zumar: 45)

Apabila hanya disebutkan Allāh saja, ketika diminta hanya bertauhīd kepada Allāh, hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat menjadi resah, menjadi gelisah, menjadi tidak tenang.

Ketika diminta dan didakwahi hanya menyembah Allāh semata (beribadah kepada Allāh semata) dan tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun hatinya menjadi gundah tidak tenang.

Tapi ketika disebutkan bersama Allāh yang lain, tiba-tiba hatinya mereka menjadi sangat gembira, bahagia.

Oleh karena itu disini beliau (rahimahullāh) mengatakan:

“Syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya ikhlās dan tauhīd berarti kita harus meremehkan orang-orang yang shālih”

Dan ini termasuk talbis syaithān, syaithān telah berjanji dari awal dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk menyesatkan manusia (menyesatkan anak-anak nabi Ādam) dengan berbagai cara, dan menghias-hiasi diantara mereka yang bathil menjadi benar, yang benar menjadi bathil.

Darimana bisa digoda, maka mereka akan menggodanya.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ۞
ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ ۞

(Iblīs ) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.

Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

(QS. Al A’rāf: 16-17)

Iblīs berjanji untuk menyesatkan mereka dari shirāthal mustaqīm, dan akan didatangi anak-anak Ādam baik dari kanannya dari kirinya dari atasnya dari bawahnya sehingga mereka menjadi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh disini menghias-hiasi dimata manusia bahwasanya orang yang bertauhīd berarti dia meremehkan orang-orang yang shālih.

Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Halaqah 05 ~ Penjelasan Pokok Pertama Bagian 3 

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang kelima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:

وَأَظْهَرَ لَهُمُ الشِّرْكَ بِاللهِ فِي صُوْرَةِ مَحَبَّةِ الصَّالِحِيْنَ وَاتِّبَاعِهِمْ

Dan mereka (syaithān) menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan kepada Allāh.

Dengan cara apa?

Dengan dipoles dan dihiasi, seakan-akan itu termasuk mahabatusshālihin (menyintai orang-orang yang shālih) dan mengikuti mereka.

Dan ini adalah termasuk makar dan tipu daya syaithān.

Tidak langsung mengatakan asyrikbillāh (hendaklah engkau menyekutukan Allāh) tidak!

Tapi menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan dan dipoles dengan mengatakan, “Ini termasuk mencintai orang yang shālih, menjunjung kedudukan mereka, menghormati hak-hak mereka”.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita memahami agama ini, dan menampakkan kebenaran itu benar dan yang bathil adalah bathil.

Didalam agama Islām tidak ada pertentangan antara tauhīd dan mencintai orang yang shālih, kita diperintahkan untuk mentauhīdkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan mencintai orang-orang yang shālih.

Siapakah orang-orang yang shālih?

√ Orang shālih yang ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

√ Orang yang sesuai amalannya dengan Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

√ Orang yang shālih dhahir maupun bathinnya.

Mereka adalah orang-orang memiliki kedudukan disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dengan ketaqwaan mereka.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla diantara kalian adalah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kalian”.

(QS. Al Hujurāt: 13)

Orang-orang shālih mereka bertingkat-tingkat ketaqwaannya, mereka adalah orang-orang yang mulia disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan kita diperintahkan untuk menghormati mereka.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟

“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allāh diantara hamba-hambanya adalah para ulamā”

(QS. Fāthir: 28)

Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

“Para ulamā adalah pewaris para nabi”

Mewarisi ilmu mereka, mengajak manusia untuk berpegang teguh dengan warisan para nabi, para ulamā jelas memiliki keutamaan yang tinggi disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita diperintahkan untuk mencintai mereka mengikuti mereka didalam keshālihan ini, meneladani mereka didalam keshālihan ini.

Ini adalah cara untuk mencintai orang-orang yang shālih (yaitu) dengan mencintai mereka dengan hati kita sesuai dengan kadar keimanan mereka, mengikuti mereka, dan meneladani mereka didalam ibadah mereka kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Menghormati orang yang shālih dan mencintai mereka diperintahkan namun penghormatan ini memiliki batasan-batasan yang telah ditentukan syar’iat.

Ada batasan yang telah ditentukan oleh Allāh dan Rasūl Nya dan tidak boleh penghormatan kita kepada orang-orang shālih (para ulamā, orang-orang yang zuhud, orang-orang yang mulia) melebihi dari batasan-batasan ini.

Kalau sampai melebihi maka masuk al ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shālih.

Dan ghuluw fi shālihin (ghuluw terhadap orang-orang shālih) adalah sebab terjadinya kesyirikan pertama kali dipermukaan bumi ini seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Nūh alayhissallām.

Jadi kita diperintahkan menghormati orang yang shālih mencintai mereka dengan cara meneladani mereka, mengikuti mereka didalam amal shālihnya akan tetapi kecintaan ini memiliki batasan-batasan.

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencela ahlul kitāb karena mereka berlebih-lebihan terhadap nabi Īsā alayhissallām.

Nabi Īsā adalah seorang rasūl, seorang hamba, tetapi mereka ghuluw (berlebih-lebihan), mengatakan bahwasanya nabi Īsā alayhissallām adalah anak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ إِنَّمَا ٱلْمَسِيحُ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلْقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌۭ مِّنْ هُفَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allāh kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Īsā putera Maryam itu, adalah utusan Allāh dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allāh dan rasūl-rasūl Nya”

(QS. An Nissā’: 171)

Wahai ahlul kitāb, janganlah kalian ghuluw didalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan atas nama Allāh, kecuali yang hak kecuali yang memang ada dalīlnya sementara ucapan mereka Īsā adalah anak Allāh adalah sesuatu yang tanpa burhan tanpa ada dalīl dari Allāh.

Sesungguhnya Īsā bin Maryam adalah seorang Rasūlullāh bukan seorang anak Allāh, dan kalimat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, yang Allāh tiupkan pada Maryam yaitu dengan ucapan Allāh (kun fayakun).

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencela orang-orang ahlul kitāb, orang-orang Nashrāni karena mereka ghuluw terhadap orang yang shālih, para nabi adalah pemukanya orang-orang shālih.

Demikian pula Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau adalah sebaik-baik rasūl (syayidul waladi Ādam) namun beliau mencela umatnya untuk ghuluw terhadap beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan melarang mereka untuk ghuluw kepada beliau.

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَىِ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana orang-orang Nashrāni berlebih-lebihan terhadap Īsā ibnu Maryam”

Larangan dari beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada kita semua meskipun kita mencintai beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Dan tidak akan dinamakan seseorang beriman sampai mencintai beliau lebih dari anaknya lebih dari orang tuanya, lebih dari semua manusia.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Akan tetapi beliau melarang kita berlebih-lebihan terhadap beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam)

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إنما أنا عبد فقولوا عبدالله ورسوله

“Sesungguhnya aku adalah seorang hamba bukan sesembahan bukan seorang Tuhan, tapi aku adalah seorang hamba yang menyembah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla”

Maka katakanlah oleh kalian bahwasanya aku adalah seorang hamba Allāh dan juga seorang rasūl.

Maka didalam syahadat واشهد ان محمدا عبده ورسوله dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allāh dan juga rasūl Nya.

√ Pertama kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang hamba artinya tidak disembah

√ Kedua kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang rasūl artinya harus dibenarkan dan diikuti syar’iatnya.

Jadi beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) sendiri melarang kita untuk ghuluw dan berlebih-lebihan terhadap beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam).

Kalau kita dilarang untuk berlebih-lebihan kepada beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) tentunya kepada yang lain lebih dilarang.

Tidak ada yang lebih mulia kedudukannya disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla kecuali beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam).

Dan diantara bentuk ghuluw terhadap orang-orang shālih dizaman sekarang diantaranya,

√ Berdo’a kepada orang-orang yang shālih yang sudah meninggal atau dinamakan dengan tawasul

√ Demikian pula membangun kuburan mereka, menghias-hiasin kuburan mereka.

√ Demikian pula ber’itikaf berdiam diri dikuburan mereka.

Ini semua termasuk bentuk ghuluw terhadap orang-orang shālih.

Berdo’a adalah termasuk ibadah yang tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah Halaqah 01 - 05"

Posting Komentar