Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah Halaqah 06 - 10
Halaqah 06 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 1
Halaqah 07 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 2
Halaqah 08 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 3
Halaqah 09 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 4
Halaqah 10 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 1
Halaqah 06 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian
1
Silsilah Ilmiyyah
Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah
بسم اللّه الرحمن
الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن والاه
Halaqah yang keenam dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb
Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
ألْأَصْلُ الثَّانِيْ :
أَمَرَ اللهُ بِالاجْتِمَاعِ فِي الدِّيْنِ وَنَهَى عَنِ
التَّفَرُّقِ، فَبَيَّنَ اللهُ هَذَا بَيَانًا شَافِيًا تَفْهَمُهُ الْعَوَامُّ
• Pokok yang kedua:
Bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memerintahkan kita
untuk bersatu berkumpul didalam agama dan melarang kita untuk saling berpecah
belah.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini
(yaitu) perintah untuk bersatu, berkumpul dan larangan berpecah belah didalam
Al Qurān dengan penjelasan yang sangat jelas dipahami oleh orang awam
sekalipun.
Artinya apa yang Allāh perintahkan tersebut bukanlah sesuatu
yang sulit untuk dipahami.
Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk bersatu adalah
ayat-ayat yang jelas dipahami oleh orang yang awam maupun orang yang cerdas
(semuanya bisa memahami tentang perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini).
Dalīl perintah Allāh didalam Al Qur’ān, diantaranya:
⑴ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Muslim.”
(QS. Āli Imrān: 102)
⑵ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا
تَفَرَّقُواْۚ……
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allāh,
dan janganlah kamu bercerai berai.”
(QS. Āli Imrān: 103)
⇒ Hablullāh artinya dengan Al Qur’ān
Semuanya diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk
berpegang teguh dengan Al Qur’ān dan janganlah kalian saling berpecah belah.
Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah dari
Allāh Subhānahu wa Ta’āla supaya kita bersatu, berpegang teguh dengan Al
Qur’ān, As Sunnah dan dengan agama ini.
Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah didalam
agama karena Allāh berfirman,
وَلَا تَفَرَّقُوا۟
“Dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
⇒ Orang awampun memahami tentang firman Allāh
Subhānahu wa Ta’āla ini.
⑶ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُوا۟
وَٱخْتَلَفُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْبَيِّنَـٰتُ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling berpecah
belah (bercerai berai) dan berselisih setelah datang kepada mereka al bayyinat
(keterangan yang jelas, dalīl yang jelas). Dan merekalah orang-orang yang
mendapat adzab yang pedih.
(QS. Āli Imrān: 105)
Allāh mengatakan, “Janganlah kalian seperti orang-orang yang
berpecah belah dan berikhtilaf setelah datang kepadanya al bayyinat keterangan
yang jelas (dalīl yang jelas).”
Dan orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah
mengetahui dalīlnya maka ini mendapatkan ancaman adzab dari Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
⑷ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ
نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ
وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ
“Allāh telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nūh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad)
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrāhīm, Mūsā dan Īsā yaitu
tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di
dalamnya.”
(QS. Asy Syūrā: 13)
Perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan ini (diwahyukan oleh
Allāh) kepada Nūh, kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada
Ibrāhīm, Mūsā dan Īsā supaya kita menjalankan agama ini dan supaya kita tidak
saling berselisih dan berpecah belah diantara kita.
⑸ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ
وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى
ٱللَّهِ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu
(Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allāh.”
(QS. Al An’ām: 159)
Banyak ayat didalam Al Qur’ān yang menunjukkan tentang perintah
Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada kita agar bersatu didalam agama Allāh, bersatu
didalam hak, bersatu didalam berpegang teguh dengan Al Qur’ān dan Sunnah
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan larangan untuk berpecah belah
didalam agama ini.
⇒ Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang
perkara ini.
Oleh karena itu beliau (rahimahullāh) mengatakan:
“Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam sekalipun apalagi
oleh para ulamā dan para penuntut ilmu.”
Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
وَنَهَانَا أَنْ نَكُوْنَ كَالذِيْنَ تَفَرَّقُوْا
وَاخْتَلَفُوْا قَبْلَنَا فَهَلَكُوْا
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita, menjadi
orang-orang yang berselisih (berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita.
Mereka (orang-orang Yahūdi dan Nashrāni) berselisih (berpecah
belah) didalam agama mereka, sehingga akhirnya mereka hancur dan dihancurkan
oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka.
Dan didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
menerangkan bahwasanya, “Orang-orang Yahūdi telah berselisih dan berpecah belah
menjadi 71 golongan, orang-orang Nashrāni 72 golongan, dan umatku kata beliau
akan berpecah belah menjadi 73 golongan.”
⇒ Dan kita dilarang untuk mengikuti jalan
orang-orang Yahūdi dan Nashrāni.
Tidaklah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan dan
mengabarkan kepada kita tentang perpecahan orang-orang Yahūdi dan Nashrāni
kecuali diantaranya adalah untuk mengingatkan kita, jangan sampai kita
terpelosok didalam apa yang mereka sesat didalamnya.
Orang-orang Yahūdi dan Nashrāni berpecah belah didalam agamanya
dan kita dilarang untuk mengikuti kesesatan mereka didalam berpecah belah ini.
Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
وبالله التوفيق و
الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Halaqah 07 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 2
Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu
As-Sittah
بسم
اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن والاه
Halaqah yang ketujuh dari
Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah
kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi
rahimahullāh.
Kemudian beliau (rahimahullāh)
mengatakan:
وَذَكَرَ أَنَّهُ أَمَرَ
الْمُسْلِمِيْنَ بِالاجْتِمَاعِ فِي الدِّيْنِ وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ
فِيْهِ
Dan Allāh menyebutkan
bahwasanya Allāh memerintahkan orang-orang muslimin untuk bersatu didalam agama
dan melarang mereka untuk berpecah belah didalamnya.
وَيَزِيْدُهُ وُضُوْحًا مَا
وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنَ الْعَجَبِ الْعُجَابِ فِي ذَلِكَ
Dan lebih jelasnya atau
kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang ada dan datang didalam sunnah
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah keheranan kita
kepada orang-orang yang berpecah belah didalam agamanya.
Didalam As sunnah didalam
hadīts-hadīts yang shahīh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan
juga tentang perintah bersatu didalam agama dan larangan untuk berpecah belah
didalam agama.
Sebagaimana sabda beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّ الله يَرْضَى لَكُمْ
ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ
تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَأَنْ تَنَاصَحُوا
مَنْ وَلاَّهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya telah Allāh
meridhāi untuk kalian tiga perkara, Allāh meridhāi untuk kalian agar kalian
menyembah Allāh semata dan tidak menyekutukan Allāh dengan apapun.
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguh dengan tali
Allāh dengan Al Qurān dan supaya kalian jangan berpecah belah”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla
ridhā apabila kita saling bersatu diatas hak (diatas Al Qur’ān).
Dan didalam hadīts yang lain
didalam hadīts qudsi disebutkan bahwasanya Allāh mengatakan:
لاَ تَحَاسَدُوا، وَلَا
تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling
berhasad, janganlah kalian saling memutus, janganlah kalian saling membelakangi
dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allāh yang saling bersaudara.”
Jelas, dijelaskan oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla didalam perintah untuk menjadi hamba-hamba Allāh yang
bersaudara tidak saling hasad tidak saling memutus.
Dan beliau mengatakan:
المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم:
لا يَظلِمُه، وَلا يَحْقِرُهُ، وَلا يَخْذُلُهُ
“Seorang muslim adalah saudara
muslim yang lain, tidak menzhāliminya, tidak menghinanya tidak meninggalkanya
ketika dia butuh pertolongan.”
Ini adalah perintah-perintah
dari nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita saling bersatu dan tidak
berpecah belah.
Oleh karena itu didalam Islām,
Allāh Subhānahu wa Ta’āla melarang perkara-perkara yang kira-kira menjadikan
permusuhan diantara kita.
Kita dilarang ghibah
(membicarakan kejelekan orang) dilarang mengadu domba, bahkan dilarang minum
minuman keras demikian pula perjudian, diantara hikmahnya adalah untuk ini.
Karena dua perkara ini menjadi
wasīlah (perantara) bagi syaithān untuk memecah belah diantara kaum muslimin
dengan sebab khamr dan perjudian.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَـٰنُ
أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ……
“Sesungguhnya syaithān
bermaksud untuk menimbulkan permusuhan diantara kalian didalam al khamr
(minuman keras) dan juga al maiysir (perjudian).”
(QS. Al Māidah: 91)
Ini adalah dalīl-dalīl dari As
sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang pentingnya bersatu didalam
agama dan juga larangan didalam berpecah belah.
Yang dimaksud dengan bersatu
disini adalah bersatu diatas hak (bersatu diatas kebenaran) dan larangan
berpecah belah.
Yang dimaksud bersatu diatas
kebenaran bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar
(memerintahkan jelas yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).
Bersatu bukan berarti kita
tidak beramar ma’ruf nahi munkar, kita diperintahkan untuk bersatu, satu
didalam ‘aqidah satu didalam ibadah, satu didalam bermuamalah dan dilarang kita
saling berpecah belah akan tetapi kita juga diperintahkan oleh Allāh Subhānahu
wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Jadi bersatu bukan berarti
tidak boleh saling menasehati antara satu dengan yang lain, bukan berarti tidak
boleh kita saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan persatuan umat Islām
diantara wasīlahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf nahi munkar.
Oleh karena itu ketika Allāh
Subhānahu wa Ta’āla didalam ayat tadi menyebutkan tentang perintah bersatu,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ
ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
“Hendaklah kalian berpegang
teguh dengan hablullāh (Al Qur’ān) dan jangan saling berpecah belah.”
(QS. Āli Imrān: 103)
Didalam ayat setelahnya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kemudian pada ayat setelahnya
Allāh mengatakan:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ
يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada diantara
kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan dan beramar ma’ruf nahi
munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Āli Imrān: 104)
Itulah yang bisa kita
sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat
dan sampai bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.
Wallāhu Ta’āla A’lam.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Halaqah 08 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 3
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang kedelapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang beriman.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.”
(QS. At Tawbah: 71)
Dan orang-orang yang beriman yang laki-laki dan wanita sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.
Apa sifat mereka?
Mereka saling beramar ma’ruf nahi munkar
⇒ menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah beramar ma’ruf nahi munkar.
Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah didalam agama.
Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar disini adalah amar ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan syar’iat yang mengikuti adab-adab yang telah ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan tetapi tidak beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan rasūl Nya. Caranya, adab-adabnya dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan Rasūl Nya.
Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran didalam masalah ijtihādiyyah (yaitu) masalah yang masih menerima ijtihād didalamnya karena tidak ada nash didalam perkara tersebut.
Sebagian ulamā (sebagian imām yang empat) mengatakan demikian, sebagian imām yang lain mengatakan demikian, maka didalam perkara ini tidak ada pengingkaran.
Seperti (misalnya):
√ Sebagian menganggap bahwasanya menyentuh lawan jenis adalah membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’.
√ Dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’
Maka ini adalah termasuk masa’il (masalah-masalah) ijtihādiyyah yang menerima ijtihādiyyah didalamnya, karena tidak ada nash yang shārih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.
Namun didalam perkara yang jelas disana ada nash yang shārih, dan perkara ini tidak ada diantara shahābat yang berselisih didalamnya maka tidak sepantasnya seorang muslim dan muslimah berselisih didalam perkara tersebut.
Seperti misalnya:
√ Ada orang yang meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
√ Ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Didalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi (خاتم النبين)
Demikian pula didalam hadīts, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
وأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ ، لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku”
Dan tidak ada diantara shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, para tābi’in, para tabiut tābi’in yang mereka meyakini ada nabi setelah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah seorang pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islām yang meyakini bahwasanya ada nabi setelah Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Perkara seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihādiyyah.
Demikian pula adanya Al Qur’ān ini telah di tambah atau telah dikurang, atau orang-orang yang mencela para shahābat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan yang tercela.
Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah dirubah, telah ditambah telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwa para shahābat adalah orang yang tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan didalam Al Qur’ān bahwasanya Allāh telah menjaga Al Qur’ān.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’ān dan sesungguhnya kami akan menjaganya.”
(QS. Al Hijr: 9)
Menjaga Al Qur’ān baik dari lafadznya maupun dari maknanya.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَـٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
“Tidak akan datang kedalam Al Qur’ān sebuah kebathilan baik dari depannya maupun dari belakannya.”
(QS. Fussillat: 42)
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’ān tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah ditambah atau di kurang.
Seandainya ada seseorang diatas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk menambah satu hurufpun didalam Al Qur’ān niscaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menampakan itu ditengah-tengah manusia.
Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslimin mencela para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, mencela mereka atau bahkan mengkāfirkan mereka karena didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum.
Dalam ayat yang banyak.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًۭا سُجَّدًۭا
“Muhammad adalah utusan Allāh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kāfir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allāh dan keridhāan-Nya”
(QS. Al Fath: 29)
Didalam ayat yang lain, Allāh berfirman:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islām) di antara orang-orang Muhājirīn dan Anshār dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allāh ridhā kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allāh”
(QS. At Tawbah: 100)
Allāh meridhāi para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, bagaimana seseorang mengatakan bahwasanya para shahābat kāfir padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah meridhāi mereka dan mereka pun ridhā kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela dan harus diingkari dan dijelaskan kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalīl, sebagian Imām mengatakan pendapat A dan Imām yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing memiliki dalīl dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān berusaha untuk mengikuti sunnah, berusaha untuk mengikuti ijmā’ akan tetapi akhirnya memiliki pendapat yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān dan Sunnah maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan.
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran dengan melihat dalīl dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka hendaklah dia bertoleransi didalam masalah ini dan tidak memaksakan kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imām yang empat (Imām Abū Hanīfah, Imām Mālik, Imām Syāfi’i, dan Imām Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam ahlus sunnah wa al jamā’ah.
Saling berguru antara satu dengan yang lain.
√ Imām Ahmad bin Hambal berguru kepada Imām Syāfi’i.
√ Imām Syāfi’i berguru kepada Imām Mālik bin Annas.
Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan yang lain, bahkan sebagian berimam kepada yang lain (menjadi makmum kepada yang lain).
Karena mereka memiliki manhaj yang satu jalan yang satu yaitu berusaha didalam ibadahnya sesuai dengan Al Qur’ān sesuai dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Apabila setelah itu terjadi perselisihan maka sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد
“Apabila seorang hākim, seorang ulamā berijtihād kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala, yaitu:
⑴ Pahala berijtihād bersungguh-sungguh dengan melihat dalīl
⑵ Pahala ishābatul haq yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.
Akan tetapi apabila dia berijtihād kemudian dia salah didalam ijtihād nya maka dia mendapatkan satu pahala (yaitu) pahala berijtihād, pahala bersungguh-sungguh didalam mencari kebenaran. Ini didalam masā’ilu al ijtihādiyyah.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.
Wallāhu Ta’āla A’lam
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Halaqah 09 ~ Penjelasan Pokok Kedua Bagian 4
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang kesembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
ثُمَّ صَارَ الْأَمْرُ إِلَى أَنَّ الافْتِرَاقَ فِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَفُرُوْعِهِ هُوَ الْعِلْمُ وَالْفِقْهُ فِي الدِّيْنِ
Kemudian setelah itu dizaman beliau dizaman sekarang jadilah bahwasanya berpecah belah didalam agama, baik didalam ushūl agama (pokok-pokok) agama maupun didalam cabang-cabangnya dinamakan dengan ilmu dan fiqih didalam agama.
Dizaman sekarang kata beliau:
Sebagian mengatakan bahwasanya berpecah belah didalam agama adalah termasuk pemahaman (fiqih)
Artinya orang yang mengatakan, “Boleh kita berpecah belah, kita memiliki kebebasan untuk beraqidah, kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menganut kepercayaannya masing-masing”. Dianggap ucapan ini sebagai bentuk pemahaman terhadap agama.
Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan membebaskan manusia untuk ber’aqidah untuk memiliki kepercayaan masing-masing.
Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
وَصَارَ الْأَمْرُ بِالاجْتِمَاعِ فٍي دين لَا يَقُوْلُهُ إِلَّا زِنْدِيْقٌ أَوْ مَجْنُوْنٌ
Kemudian perintah untuk berkumpul dan bersatu didalam agama, sebagian mengatakan bahwasanya ini adalah tidak diucapkan kecuali oleh seorang yang zindīq, seorang pendusta atau orang yang gila.
Jadi orang yang mengajak manusia untuk bersatu padu didalam hak didalam kebenaran dianggap orang yang zindīq atau orang yang gila.
Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita mengajak orang lain untuk mengikuti kebenaran.
Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki kepercayaan masing-masing”, tidak boleh saling menganggu satu dengan yang lain.
Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu didalam kebenaran, meninggalkan ‘aqidah yang bathil, meninggalkan kepercayaan yang tidak benar, dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang gila atau orang zindīq.
Dan ini yang terjadi dizaman beliau demikian pula dizaman kita.
Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki aqidah yang benar, memiliki tauhīd yang benar, melarang mereka untuk memiliki ‘aqidah yang salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya ini adalah orang yang majnun (orang gila) atau orang yang zindīq.
Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-kepercayaan tersebut, membiarkan ‘aqidah-aqidah tersebut tersebar diantara masyarakat maka ini dianggap sebagai orang yang paham tentang agamanya.
Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allāh jelaskan didalam Al Qur’ān dan dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang shahīh.
Ini adalah pokok yang kedua yang ingin dijelaskan oleh pengarang didalam kitāb ini.
Kesimpulannya:
√ Perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum muslimin untuk saling bersatu didalam al haq, bersatu didalam kebenaran
√ Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah didalam agama kita.
Apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam masalah aqidah, baik dalam masalah ibadah, baik masalah haram dan halal maka Allāh dan Rasūl nya telah memberikan jalan keluar.
Didalam Al Qur’ān, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ……
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allāh dan taatilah Rasūl (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allāh (Al Qur’ān) dan Rasūl (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allāh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nissā’: 59)
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allāh, taat kepada rasūl dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian), apabila kalian saling berselisih didalam satu perkara, baik dalam masalah aqidah, masalah ibadah, masalah yang lain, maka hendaklah kalian kembalikan kepada Allāh juga kepada rasūl Nya.
√ Dikembalikan kepada Allāh.
√ Dikembalikan kepada Al Qur’ān.
Dilihat apakah sesuai tidak dengan Al Qur’ān pendapat kita.
√ Kembalikan kepada rasūl.
√ Kembalikan kepada hadīts nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Apakah pendapat kita sesuai dengan hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam atau tidak?
Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai maka harus kita tinggalkan.
Dan ini kata Allāh:
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ ۚ
“Apabila kalian benar-benar beriman kepada Allāh dan beriman kepada hari akhir hendaklah kalian mengembalikan perselisihan kita kepada Allāh dan juga rasūl Nya.”
Apabila diantara dua orang saling berselisih dan satunya mengatakan sunnah, satunya mengatakan tidak disunnahkan maka masing-masing harus mengembalikan kepada Allāh dan rasūl Nya.
Kalau Allāh dan rasūl nya mengatakan sunnah maka semuanya harus sami’nā wa atha’nā (mendengar dan taat) tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan yang lain didalam perpecahan ini.
Apabila Allāh mengatakan A, dan rasūl nya mengatakan A, maka semuanya harus mengatakan A tersebut.
Didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafā’ur rāsyidīn.”
(Hadīts riwayat Abū Dāwūd dan At Tirmidzī)
Ketika melihat perpecahan yang banyak diantara umat (perselisihan yang banyak) maka petunjuk beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada sunnah beliau dan sunnah para khulafā’ur rāsyidīn.
Ini adalah petunjuk Allāh dan rasūl Nya ketika terjadi perselisihan.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.
Wallāhu Ta’āla A’lam
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Halaqah 10 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 1
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke-10 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Beliau (rahimahullāh) mengatakan:
اَلْأَصْلُ الثَّالِثُ :
أَنَّ مِنْ تَمَامِ الاجْتِمَاعِ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ لِمَنْ تَأَمَّرَ عَلَيْنَا وَلَوْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
• Pokok yang ketiga :
Sesungguhnya termasuk kesempurnaan bersatu adalah mendengar dan taat kepada orang yang telah berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa kita).
Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan persatuan, setelah kemarin beliau membahas tentang masalah bersatu diatas hak (diatas Al Qur’ān diatas hadīts) dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, maka beliau menyebutkan pada perkara yang ketiga ini bahwa diantara yang menyempurnakan persatuan diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau mendengar dan taat kepada penguasanya.
Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak dan in syā Allāh akan kita sebutkan dalīl-dalīl dari Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah kewajiban mendengar dan taat kepada pemerintah dan juga penguasa kita.
Beliau (rahimahullāh) mengatakan:
“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan”
Tidak mungkin seseorang atau kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila disana ada penguasa, ada pemerintah yang dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi orang yang terzhālimi, beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syar’iat dan melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali apabila disana ada penguasa.
Termasuk kesempurnaan persatuan bagi umat Islām adalah mendengar dan taat kepada penguasa.
Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa.
Seandainya disana ada seorang penguasa (memerintah disebuah negara) akan tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa tersebut sama dengan tidak adanya.
Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat Islām kecuali dengan adanya penguasa baik penguasa tersebut adalah penguasa yang shālih maupun penguasa yang tidak shālih.
Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau memerintah kecuali kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Oleh karena itu Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu (diriwayatkan dari beliau).
Beliau mengatakan:
لا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
“Tidak ada Islām kecuali dengan berjamā’ah, kecuali dengan bersatu, dan tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada penguasa, dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan”
Islām tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin, karena banyak ibadah atau syar’iat didalam agama Islām yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin).
Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali disana ada pemimpinnya.
Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun seandainya tidak ada pemimpin maka masing-masing merasa tidak dikuasai oleh orang lain. Sehingga melakukan apa yang dia ingin kan.
Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk melarang dia, membuat peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila disana ada pemimpinnya.
Oleh karena itu didalam Islām, ketika seseorang safar bersama yang lain, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin. (Ketika dalam bepergian apalagi didalam keadaan seseorang dalam keadaan muqim)
Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu),
“Tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada imārah ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan”
Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan dengan kekuasaan kecuali apabila anggotanya, rakyatnya mentaati penguasa tersebut.
Disini kita memahami hubungan yang erat antara Islām dan ketaatan kepada pemerintah.
Beliau (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu) mengatakan:
لا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
Hubungan antara Islām dengan ketaatan kepada pemerintah sangat erat, dan ini diucapkan oleh seorang khulafā’ur rāsyidīn yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya.
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
Menunjukkan tentang pentingnya didalam Islām, taat kepada penguasa dan juga pemerintah kita.
Oleh karena itu beliau (rahimahullāh) mengatakan,
أَنَّ مِنْ تَمَامِ الاجْتِمَاعِ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ لِمَنْ تَأَمَّرَ عَلَيْنَا
Bagi orang yang telah Allāh taqdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia adalah orang yang shālih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat) apabila Allāh telah menjadikan dia sebagai seorang penguasa, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat.
Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
وَلَوْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak dari Habasyah”
Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat.
Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan seandainya (qadarullāh) yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah dikenal oleh orang-orang Arab sebagai budak yang dimata manusia adalah seorang yang rendah (kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka bukan seorang budak maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.
Dan ucapan beliau ini diambil dari hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat diakhir hayat beliau.
Suatu hari setelah shubuh beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat dengan nasehat yang sangat dalam.
Kemudian salah seorang shahābat berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ! كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ
“Yā Rasūlullāh, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah.
(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar hati para shahābat dan membuat mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”
Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan ditinggalkan.
Apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
“Aku wasiat kan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allāh”
Nasehat pertama yang beliau ucapkan kepada para shahābat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada Allāh.
Kemudian apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam katakan?
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadikan amir (penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah”
Nasehat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para shahābat, adalah:
⑴ Bertaqwa kepada Allāh.
⑵ Taat kepada pemerintah kita (penguasa kita) meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.
Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat bahkan beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua setelah beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Allāhu Ta’āla A’lam
Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
0 Response to "Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah Halaqah 06 - 10"
Posting Komentar