HSI 10 Halaqah 51 – 75

 

HSI 10 Halaqah  51 – 75 

HSI 10 ~ Halaqah  51-55

 Group WA HSI Abdullah Roy
 hsi.abdullahroy.com
════
❁✿❁ ════

 Silsilah ‘Ilmiyyah 10.3 Sirah Nabawiyyah

 Halaqah 51 ~ Sampai Ke Kota Madinah

 Halaqah 52 ~ Tinggalnya Rasūlullāh shallallāhu ’alayhi wa sallam Di Rumah Abu Ayyub AlAnshari Radhiyallāhu ’anhu

 Halaqah 53 ~ Masyarakat Madinah Sebelum Hijrah

 Halaqah 54 ~ Pengaruh Islam Terhadap Tatanan Masyarakat Kota Madinah

 Halaqah 55 ~ Saling Menyaudarakan

 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

════ ❁✿❁ ════

Halaqah 51 ~ Sampai Ke Kota Madinah

Setelah melewati perjalanan yang panjang dan menegangkan, maka pada tanggal 12 Rabiul Awwal, hari senin menjelang siang, sampailah Nabi dan Abu Bakar di Quba sebuah daerah 5 km di sebelah selatan kota Madinah. Tinggal di daerah ini Bani Amr bin Auf.

Di dalam shahih Bukhori disebutkan, bahwa beliau tinggal di Quba selama 14 hari dan membangun di sana pondasi masjid Quba. Ketika beliau berazam dan berkehendak untuk memasuki ke kota Madinah maka beliau mengirim utusan ke Bani An Najar dan kaum Muslimin di kota Madinah sebelumnya telah mendengar keluarnya Nabi dari Mekkah. Setiap pagi mereka menunggu Nabi di pinggiran kota Madinah dan apabila telah terasa panasnya matahari, maka mereka pun pulang ke rumahnya. Demikianlah setiap hari, sehingga ketika di hari Nabi datang, mereka menunggu sampai pertengahan hari, kemudian pulang. Datanglah Nabi , sementara mereka sudah masuk ke dalam rumah-rumah mereka.

Seorang Yahudi melihat Nabi, kemudian dia pun memanggil kaum muslimin. Keluarlah mereka dan menyambut Nabi dan bergembira dengan kegembiraan yang luar biasa. Telah menyambut beliau saat itu 500 orang Anshor. Mereka mengelilingi Nabi dan Abu bakar kemudian berjalanlah mereka semuanya memasuki ke kota Madinah.

Mereka berkata ”Datang Nabiyullah, datang Nabiyullah”, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Al Bukhari.

Laki-laki dan juga wanita mereka naik ke atas-atas rumah mereka untuk melihat Rasulullãh , orang yang sangat mereka tunggu.

Anak-anak kecil berpencar di jalan seraya mengatakan ”Ya Muhammad, Ya Rasulullãh, Ya Muhammad, Ya Rasulullãh”, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Muslim.

Berkata Al Bara Ibnu Aji ”Aku tidak melihat penduduk Madinah bergembira lebih dari kegembiraan mereka dengan kedatangan Rasulullãh ”, sebagaimana hal ini disebutkan di dalam shahih Al Bukhori.

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa mereka menyambut Nabi dengan *Tholaal badru alaina*, maka tidak ada di sana riwayat yang shahih.

Halaqah 52 ~ Tinggalnya Rasūlullāh shallallāhu ’alayhi wa sallam Di Rumah Abu Ayyub AlAnshari Radhiyallāhu ’anhu

Setelah masuk kota Madinah, beliau berjalan menaiki untanya. Setiap kali melewati rumah seorang pembesar Anshor, maka pembesar meminta tersebut kepada Nabi untuk bertamu di rumahnya. Maka Beliau berkata ”biarkan unta ini berjalan karena dia diperintahkan”. Ternyata Unta tadi menderum di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Maka tinggallah beliau di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dan di dalam riwayat Ibnu Sa’ad, dalam beliau kitab Ath Thobaqot disebutkan, bahwa Nabi tinggal di sana selama 7 bulan.

Dan rumah Abu Ayyub ada 2 tingkat, Abu Ayyub meminta kepada Nabi supaya berkenan tinggal di atas, karena Abu Ayyub dan Ummu Ayyub tidak nyaman berada di atas Nabi . Namun, beliau menolak dan mengatakan bahwa di bawah lebih nyaman bagi beliau dan bagi yang bertamu kepada beliau.

Orang-orang Anshor sangat mencintai orang-orang muhajirin. Mereka memberikan kepada kaum muhajirin harta dan tempat tinggal dan mendahulukan kepentingan Muhajirin daripada kepentingan mereka sendiri.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang tinggal di Madinah dan mereka sudah beriman sebelumnya, mereka mencintai orang-orang yang hijrah kepada mereka dan tidak menemukan di dalam jiwa mereka rasa hasad terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang Muhajirin dan mereka mendahulukan orang-orang Muhajirin di atas diri-diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam keadaan butuh. Dan barangsiapa yang dijaga dari kebahilan dirinya sendiri, maka merekalah orang-orang yang beruntung_

[Surat Al-Hasyr: 9]

Rasulullãh di dalam shahih Al Bukhari, beliau memuji orang-orang Anshor dan mengatakan:

لولا الهجرة لكنت امرأ من الأنصارة

“Kalau bukan karena hijrah, niscaya aku adalah termasuk orang-orang Anshor”.

Hijrah adalah suatu ujian tersendiri bagi kaum Muhajirin. Mereka berpindah ke kota Madinah, sebuah daerah yang baru, yang berbeda iklim dan cuacanya dari kota Mekkah. Madinah adalah daerah perkebunan kurma, kelembaban kota Madinah lebih tinggi daripada kota Mekkah. Sebagian Muhajirin, ketika mereka berhijrah ditimpa oleh demam, di antaranya adalah Abu Bakar dan Bilal.

Nabi bersabda :

”Ya Allāh jadikanlah kecintaan kami kepada Madinah sama dengan kecintaan kami kepada kota Mekkah atau lebih dan jadikanlah dia sehat dan berkahilah untuk kami di dalam sho dan mut nya dan pindahkanlah demam nya ke Al Juhfah”

(Hadits riwayat Al Bukhori)

Selain itu, tempat tinggal yang seadanya, makanan yang seadanya, meninggalkan harta dan keluarganya yang mereka cintai di Mekkah, ini adalah ujian tersendiri bagi mereka. Namun, kaum Muhajirin berusaha mengalahkan itu semua untuk menyelamatkan akidah dan agama mereka.

Halaqah 53 ~ Masyarakat Madinah Sebelum Hijrah

Yatsrib adalah nama lama dari kota Madinah. Daerah yang subur dan banyak air, dikelilingi oleh Al Harroh dari 4 arah mata angin.

Al Harroh adalah daerah yang berbatu hitam seperti terbakar. Al Harroh di sebelah Barat Madinah dinamakan Al Wabiroh. Dan Al Harroh di sebelah Timur dinamakan Waqim. Gunung Uhud di sebelah Utara kota Madinah dan di sebelah Barat dayanya bukit ‘air.

Yatsrib ini adalah kota lama. Di antara yang sudah lama tinggal di sana adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab dari suku Aus dan Khodroj. Adapun orang-orang Yahudi, maka mereka mulai berdatangan sejak abad pertama dan kedua Masehi. Mereka meninggalkan Syam, melarikan diri dari kekejaman orang-orang Romawi. Kemudian, mereka membuat perkampungan di kota Madinah dan sekitarnya.

Di sana ada tiga kabilah Yahudi di kota Madinah. Yang pertama adalah Bani Nadhir. Kemudian yang kedua, Bani Quraizhah. Dua kabilah ini tinggal di Harroh Waqim, yang merupakan daerah yang paling subur di kota Madinah. Adapun yang ketiga, Bani Qainuqa’. Jumlah pasukan perang tiga kabilah ini kurang lebih 2000 orang. Dan mereka, orang-orang Yahudi, menguasai kota Madinah, baik secara politik, ekonomi maupun pemikiran. Adapun orang-orang Arab yang datang ke Madinah setelah orang-orang Yahudi, yaitu suku Aus dan Khodroj, maka mereka terpaksa menempati tempat yang lain yang tidak ditinggali oleh orang Yahudi. Di mana tempat tersebut adalah tempat yang kurang subur.

Orang-orang Aus dan Khodroj, menisbatkan diri mereka ke suku Al Adz dari Yaman, yang meninggalkan negeri Yaman semenjak kurang lebih tahun 207 Masehi. Ada yang mengatakan bahwa mereka hijrah dari Yaman karena runtuhnya bendungan Ma’rif dan terjadinya banjir besar. Suku Aus tinggal di samping Bani Quraizhah dan Bani Nadhir di daerah Awali, daerah yang agak tinggi di kota Madinah. Dan Khodroj tinggal di samping Bani Qainuqa’, di sebuah daerah yang rendah di kota Madinah. Tempat tinggal Aus lebih subur daripada tempat tinggal Khodroj. Jumlah pasukan Aus dan Khodroj semuanya kurang lebih 4000 orang. Karena, jumlah yang banyak inilah, orang-orang Yahudi yang sudah tinggal sebelumnya di kota Madinah, khawatir akan dikuasai oleh orang-orang Arab tersebut. Maka, mereka berusaha menyulut permusuhan dan peperangan di antara orang-orang Aus dan Khodroj.

Halaqah 54 ~ Pengaruh Islam Terhadap Tatanan Masyarakat Kota Madinah

Orang-orang Yahudi terus mengobarkan api peperangan antara Aus dan Khodroj. Puncaknya adalah di perang Bu’ats yang terjadi 5 tahun sebelum hijrahnya Rasulullãh . Di mana Aus saat itu, bisa mengalahkan Khodroj, padahal sebelumnya Khodrojlah yang sering mengalahkan Aus. Hingga, pada akhirnya Aus bersekutu dengan Bani Nadhir dan Bani Quraizhoh, kemudian mengalahkan Khodroj di perang Bu’ats.

Setelah itu, sadarlah orang-orang Aus dan Khodroj bahwa peperangan mereka selama ini menguntungkan orang-orang Yahudi dalam usaha mereka menguasai kota Madinah. Oleh karena itu, merekapun berusaha untuk berdamai bahkan mereka bersepakat untuk mengangkat Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang pembesar Khodroj, untuk menjadi Raja Yastrib. Ini menunjukkan bagaimana Aus dan khodroj, mereka masih menjaga kekuatannya setelah perang Bu’ats.

Peperangan yang berkepanjangan antara dua suku ini, melahirkan keinginan yang kuat untuk berdamai dan hidup tenang. Dan hal ini, bersamaan waktunya dengan masuknya Islām ke kota Madinah yang mengajak kepada persaudaraan dan perdamaian.

Ketika Aus dan Khodroj masuk Islām dan berdatangan orang-orang Muhajirin, maka hal ini sangat mempengaruhi tatanan kota Madinah. Yang sebelumnya persatuan berdasarkan kabilah sekarang menjadi persatuan yang berdasarkan aqidah.

Penduduk Madinah yang sebelumnya terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin, sekarang terbagi menjadi 3.

  1. Orang-orang yang beriman. Terdiri dari sebagian besar orang Aus dan khodroj yang masuk Islām, orang-orang Quraisy yang berhijrah dan beberapa orang dari kabilah-kabilah Arab yang berhijrah.
  2. Orang-orang Yahudi yang terdiri dari 3 suku.
  3. Orang-orang munafikin, yang mereka adalah sebagian kecil dari orang-orang Aus dan Khodroj yang dahulunya mereka adalah musyrikin, kemudian menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran mereka.

Halaqah 55 ~ Saling Menyaudarakan

Di dalam Islām, semua orang yang beriman adalah bersaudara. Sebagaimana di dalam ayat yang ke-10 dari surat Al Hujarat, bersaudara yang di antara konsekwensinya adalah saling tolong menolong. Ada yang mengatakan bahwa berdasarkan beberapa riwayat, dahulu Nabi mempersaudarakan antara kaum muslimin di kota Mekkah sebelum hijrahnya mereka ke kota Madinah. Beliau mempersaudarakan antara Hamzah dengan Zaid bin Haritsah, antara Abu Bakar dan Umar, antara Utsman bin Affan dan Abdurahman bin Auf, antara Zubair Ibn Awwam dan Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain. Seandainya riwayat ini adalah riwayat yang benar maka persaudaraan di sini hanyalah terbatas saling membantu, tidak sampai saling mewarisi.

Adapun di kota Madinah, maka Rasulullãh telah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshor. Karena kaum Muhajirin, ketika mereka berhijrah ke Madinah menghadapi banyak persoalan, baik ekonomi, kesehatan maupun sosial. Mereka meninggalkan keluarga dan harta mereka, dan keahlian mereka adalah berdagang bukan bertani atau keterampilan yang merupakan mata pencarian sebagian besar penduduk Madinah.

Sementara kalau mereka mau berdagang, mereka tidak memiliki modal. Ditambah, banyak di antara mereka yang tertimpa demam kota Madinah, Namun, para Anshor radiallahu anhum tidak pelit, bahkan mereka berkorban untuk saudara mereka dari Muhajirin dan mendahulukan mereka meskipun mereka sendiri butuh.

Nabi meminta orang-orang Anshor untuk membagi hasil kebun kurma mereka dan tetap meminta mereka untuk mengelola kebun kurma mereka karena mereka lebih berpengalaman. Sedangkan kaum Muhajirin, maka lebih dipersiapkan oleh Nabi untuk berdakwah dan berjihad. Ada yang mengatakan bahwa syariat persaudaraan ini terjadi 5 bulan setelah hijrah. Disaudarakan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshor. Dan saat itu yang disaudarakan adalah 45 orang dari kalangan Muhajirin dan 45 orang dari kalangan Anshor.

Syariat persaudaraan ini mengharuskan saling tolong menolong di antara mereka dalam segala perkara, saling menasihati, saling menziarahi, saling mencintai satu dengan yang lain, bahkan saling mewarisi satu dengan yang lain.

Ketika kaum Muhajirin sudah terbiasa dengan cuaca Madinah dan mereka mulai tahu pintu-pintu rezeki dan mereka sudah mendapatkan rampasan perang di perang Badr, maka dihapuskanlah saling mewarisi antara seorang Muhajir dan seorang Anshor.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

… ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ
“Dan keluarga sebagian mereka lebih dekat kepada sebagian yang lain di dalam kitabullah“

[QS. Al-Anfal: 75]

Adapun kewajiban saling tolong menolong di antara mereka, maka terus ada.


HSI 10 ~ Halaqah 56-60

 Group WA HSI Abdullah Roy
 hsi.abdullahroy.com
════
❁✿❁ ════

 Silsilah ‘Ilmiyyah 10.3 Sirah Nabawiyyah

 Halaqah 56 ~ Ahlus Suffah

 Halaqah 57 ~ Aturan-Aturan Di Antara Penduduk Madinah

 Halaqah 58 ~ Bani Qainuqa’ Membatalkan Pejanjian Dan Diusir

 Halaqah 59 ~ Penghianatan Ka’ab bin Al Asyraf Terhadap Perjanjian

 Halaqah 60 ~ Pengusiran Bani Nadhir

 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

════ ❁✿❁ ════

Halaqah 56 ~ Ahlus Suffah

Ahlus Suffah adalah kelompok orang-orang yang fakir dari kalangan Muhajirin di zaman Nabi , yang mereka tidak memiliki tempat tinggal. Sehingga, Nabi menempatkan mereka di bagian belakang masjid Nabawi. Pemuka mereka adalah Abu Hurairoh. Dahulu Nabi apabila ingin mengundang Ahlus Suffah, beliau memanggil Abu Hurairoh. Selain orang-orang muhajirin, ada sebagian kecil orang-orang Anshor yang tinggal bersama mereka, karena ingin hidup zuhud meskipun dia memiliki rumah di Madinah, seperti Ka’ab bin Malik Al Anshory, Handzolah bin Abi Amir Al Anshory, dan Haritsah bin An-Nu’man Al Anshory.

Jumlah Ahlus suffah kurang lebih 70 orang, terkadang bertambah dan terkadang berkurang. Di antara nama-nama mereka:

  1. Abu Dzar
  2. Watsilah bin Al Asqo
  3. Salman Al Farisy
  4. Khudzaifah bin al Yamman
  5. Khobbab bin Al Ard
  6. Zaid Ibnu Khotob
  7. Abdullah bin Mas’ud
  8. Safinah (budak Nabi )
  9. Bilal bin Robbah
  10. Suhaib Arrumi
  11. Al Irbab Ibnu Sariah, dll.

Mereka mengkhususkan diri mereka untuk menuntut ilmu beribadah kepada Allāh dan berjihad. Dalam waktu-waktu senggang mereka, mereka gunakan untuk shalat, beritikaf, membaca Al-Qurān, mempelajari ayat-ayat Allāh, berdzikir, dan sebagian mereka menggunakan waktunya untuk belajar menulis. Sehingga sebagian mereka dikenal dengan ilmu dan hafalan haditsnya seperti Abu Hurairah, dan sebagian dikenal mengetahui Hadīts-Hadīts tentang fitnah seperti Khudzaifah Ibnu Yamman, dan sebagian mereka dikenal dengan kedalaman ilmunya di dalam Alquran seperti Abdullah bin Mas’ud. Meskipun mereka adalah ahli ilmu dan ibadah, namun mereka tidak ketinggalan ikut serta di dalam kegiatan masyarakat dan berjihad di jalan Allāh.

Ada di antara mereka yang meninggal ketika perang Badr, seperti Sofwan bin Baidho, ada yang meninggal ketika perang Uhud, seperti Handzolah, ada yang meninggal perang Al Yamamah seperti Zaid Ibnu Khotob, dll.

Ahlus Suffah memiliki pakaian sederhana, terkadang pakaian mereka tidak bisa menjaga mereka dari dingin, dan tidak menutupi tubuh mereka secara sempurna. Makanan mereka kebanyakan adalah qurma. Dahulu Nabi sering mengundang mereka dan beliau memohon maaf kepada mereka jika makanan yang dihidangkan tidak enak. Sering mereka menahan lapar, terkadang sebagian mereka pingsan ketika shalat, dan dahulu Nabi dan para shahabatnya sangat memperhatikan Ahlus Suffah. Beliau sering menziarahi mereka, mengunjungi orang yang sakit di antara mereka, duduk bersama mereka, menasihati mereka supaya banyak membaca Al-Qurān dan dzikrullah.

Demikianlah keadaan Ahlus Suffah. Kemiskinan mereka dan kefakiran mereka tidak menghalangi mereka untuk tidak menuntut ilmu, beribadah, dan berjihad di jalan Allāh.

Halaqah 57 ~ Aturan-Aturan Di Antara Penduduk Madinah

Nabi sebagai pemimpin kota Al-Madīnah, telah mengatur hubungan di antara penduduk Madinah. Aturan-aturan tersebut tertulis supaya masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajibannya. Aturan-aturan tertulis tadi dikenal di dalam Kitāb-kitāb yang lama dengan Al Kitab atau Ash Shohifah dan sebagian penulis memberi nama dengan Dustur atau Al Watsiqoh. Di antara yang mendatangkan teks aturan-aturan ini adalah Muhammad bin Ishak yang meninggal pada tahun 151H.

Sebagian isi aturan-aturan ini ada di dalam shahih Al Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Ibnu Majjah dan juga Ath Tirmidzi.

Aturan-aturan tadi terbagi menjadi dua:

  1. Aturan yang berkaitan dengan perdamaian orang-orang Yahudi, dan aturan-aturan ini ditulis sebelum terjadinya perang Badr.
  2. Penjelasan kewajiban dan hak kaum muslimin antara Muhajirin dan Anshor, dan ini dibuat setelah terjadinya perang Badr.

Disebutkan di dalam sebagian riwayat, bahwa aturan-aturan yang berkaitan dengan Muhajirin dan Anshor digantungkan di pedang Rasulullãh yang bernama Zulfiqor dan pedang ini termasuk rampasan perang ketika perang Badr.

Di antara isi aturan-aturan tersebut:

  1. Umat Islām adalah umat yang satu.
  2. Orang-orang yang beriman wajib untuk melawan orang yang berbuat dzolim atau dosa atau permusuhan atau kerusakan di antara orang-orang yang beriman, meskipun itu adalah anak salah seorang di antara mereka.
  3. Seorang Mukmin tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.
  4. Tidak boleh seorang mukmin menolong orang kafir atas seorang mukmin.
  5. Ibrohim telah mengharamkan kota Mekkah dan Nabi telah mengharamkan kota Madīnah.
  6. Al-Madīnah adalah tanah haram dari bukit ‘Air sampai tempat demikian.
  7. Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru, yaitu dosa atau bid’ah, dan melindungi orang yang membuat perkara yang baru, maka dia mendapat laknat Allāh, Malaikat, dan seluruh manusia.
  8. Jaminan kaum muslimin adalah satu, orang yang paling rendah di antara mereka diterima jaminannya.
  9. Orang-orang Yahudi yang mengikuti kita maka dia berhak ditolong tanpa didzolimi dan tanpa menolong orang yang memusuhi mereka.
  10. Perdamaian orang-orang yang beriman itu satu, tidak boleh seseorang yang beriman melakukan perdamaian tanpa mukmin yang lain.
  11. Sesungguhnya setiap apa yang diperselisihkan, dikembalikan kepada Allāh dan Rasul-Nya.
  12. Orang-orang Yahudi mengeluarkan hartanya bersama orang-orang yang beriman selama mereka diperangi.

Itu adalah sebagian dari isi aturan-aturan tersebut.

Halaqah 58 ~ Bani Qainuqa’ Membatalkan Pejanjian Dan Diusir

Orang-orang Yahudi tidak konsisten dengan perjanjian yang sudah dibuat bersama kaum muslimin. Bahkan mereka cenderung memusuhi perjanjian ini yang menyebabkan mereka diusir dari kota Madinah.

Bani Qainuqa’ menampakkan kemarahan dan hasad mereka ketika kaum muslimin menang di perang Badr yang terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah.

Rasulullãh berkata kepada mereka:

Wahai orang-orang Yahudi masuklah ke dalam agama Islām sebelum menimpa kalian apa yang menimpa Quraisy.

Bani Qainuqa mengatakan:

Wahai Muhammad kamu jangan tertipu, kamu membunuh sebagian orang-orang Quraisy yang mereka tidak tahu cara berperang. Seandainya kamu memerangi kami, niscaya kamu akan tahu bahwa kami adalah orang-orang yang bisa berperang dan kamu belum pernah berperang dengan orang-orang seperti kami.

Ada riwayat yang lemah yang menyebutkan bahwa salah seorang dari Yahudi Bani Qainuqa mengikat pakaian seorang wanita muslimah yang sedang berada di pasar Bani Qainuqa. Maka, ketika wanita ini berdiri, tersingkaplah hijabnya dan dia berteriak, datanglah seorang muslim yang kemudian membunuh orang Yahudi tadi. Kemudian, muslim ini dikeroyok oleh orang-orang Yahudi dan meninggal dunia. Setelah itu, keluarga muslim tadi meminta pertolongan kepada kaum muslimin yang lain.

Adapun pengusiran Bani Qainuqa, maka ini adalah kabar yang benar. Dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam shahihnya dan disebutkan oleh Ibnu Ishak, bahwa Bani Qainuqa yang merupakan sekutu Abdullah Ibnu Ubaid Ibnu Salul dikepung oleh Nabi selama 15 malam dan yang memegang bendera saat itu adalah Hamzah bin Abi Thalib. Kemudian, mereka pun mau menyerah dengan syarat harta mereka diserahkan kepada Nabi dan kaum muslimin, sementara istri dan anak-anak mereka bawa. Ubadah Ibnu Ash Shaamith, beliaulah yang saat itu bertanggungjawab dalam pengusiran Bani Qainuqa dan beliau semenjak saat itupun berlepas diri dari sekutu-sekutunya dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Muhammad bin Maslamah Al Anshori, saat itu bertanggung jawab untuk mengambil harta dari orang-orang Bani Qainuqa.

Demikianlah diusir orang-orang Bani Qainuqa, karena mereka menampakkan permusuhan dan menyelisihi perjanjian yang bisa menyebabkan ketidak stabilan kota Madinah, bukan karena mereka tidak mau masuk Islām.

Halaqah 59 ~ Penghianatan Ka’ab bin Al Asyraf Terhadap Perjanjian

Ka’ab bin Al-Asyraf, bapaknya adalah orang Arab dan ibunya adalah orang Yahudi dari Bani Nadir. Dia adalah seorang tukang syair yang sangat memusuhi dan membenci Islām. Menangnya kaum muslimin di perang Badr pada tahun 2 Hijriyah, memicu kemarahannya. Dia mendatangi kota Mekkah, mencela Nabi dan menyemangati orang-orang kafir Quraisy untuk berperang membalas kekalahan mereka di perang Badr.

Ketika kembali ke Madinah, maka Ka’ab bin Al-Asyraf merayu wanita-wanita kaum muslimin dengan syair-syairnya. Maka, Nabi memerintahkan supaya Ka’ab dibunuh. Al Imam Al Bukhari di dalam shahihnya, telah menyebutkan kisah dibunuhnya Ka’ab bin Al-Asyraf.

Ringkasnya, bahwa Muhammad bin Maslamah Al Anshory, menunjukkan kesiapannya dalam melaksanakan perintah Nabi dan beliau meminta izin untuk menggunakan tipu daya. Maka Nabi mengijinkan, karena Ka’ab sudah menjadi Muhaarit, yaitu memerangi kaum muslimin, sehingga halal darahnya.

Maka, Maslamah mendatangi Ka’ab dengan pura-pura ingin berhutang Qurma untuk diserahkan kepada Nabi dan dia berpura-pura menunjukkan kebenciannya kepada Nabi . Maka, Ka’ab pun meminta sebuah tanggungan berupa wanita-wanita atau anak-anak, maka Muhammad meminta maaf tidak bisa memberikan tanggungan dengan wanita atau anak-anak, dia menawarkan supaya tanggungan tadi berupa senjata. Ka’ab pun menyetujui.

Datanglah Muhammad bersama Abu Nailah, dia adalah saudara sepersusuan dari Ka’ab bin Al-Asyraf, ditambah 3 orang shahabat yang lain. Mereka pun memanggil Ka’ab dan berjalanlah Ka’ab bersama mereka. Kemudian mereka pun membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf dengan pedang-pedang mereka.

Orang-orang Yahudi tidak terima dengan apa yang terjadi, maka Nabi mengabarkan bahwa Ka’ab telah menghianati perjanjian. Karena dia menghina Nabi sebagai kepala negara, dan karena Ka’ab telah dekat dengan musuh-musuh kaum muslimin, bahkan mendorong mereka untuk berperang melawan kaum muslimin.

Adapun membunuh Ka’ab dengan tipu daya, maka ini diperbolehkan. Karena Ka’ab adalah seorang yang memerangi, dan perang adalah sebuah tipu daya sebagaimana dalam hadits.

Maka, takutlah setelah itu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin. Dan Nabi akhirnya mengajak mereka untuk menulis kembali perjanjian supaya menguatkan perjanjian yang sudah dilakukan sebelum perang Badr.

Halaqah 60 ~ Pengusiran Bani Nadhir

Pengusiran Bani Nadhir terjadi setelah perang Badr, di sana ada dua sebab pengusiran mereka:

Karena usaha mereka untuk membunuh Rasulullãh setelah perang Badr.

Kisahnya, setelah orang-orang Quraisy menulis surat kepada mereka, mengancam mereka jika tidak memerangi Nabi , maka mereka akan diperangi orang-orang Quraisy. Bani Nadhir kemudian berAzam untuk menghianati Rasulullãh . Mereka meminta kepada Nabi supaya menemui mereka bersama 30 orang shahabat dan mereka juga akan membawa 30 orang pendeta mereka untuk mendengar dari Nabi .

Mereka mengatakan, seandainya para pendeta ini membenarkan beliau, maka orang-orang Yahudi semuanya akan beriman.

Ketika Nabi dan 30 orang shahabatnya mulai mendekat, orang-orang Yahudi mengusulkan supaya Nabi dan 3 orang shahabatnya berkumpul bersama 3 orang pendeta Yahudi. Apabila 3 pendeta Yahudi tersebut menerima, maka Bani Nadhir semuanya akan beriman. Dan masing-masing dari 3 orang pendeta tadi sudah dibekali dengan tombak kecil untuk membunuh Rasulullãh . Akan tetapi, rencana ini bocor. Seorang wanita Yahudi membocorkan kabar ini kepada saudaranya seorang muslim. Setelah muslim ini mengabarkan kepada Nabi , Nabi pun segera pulang tanpa menemui mereka. Kemudian Nabi mengepung Bani Nadhir dan memerangi mereka. Mereka pun menyerah dan bersedia untuk meninggalkan kota Madinah dan diusir dengan syarat boleh membawa seluruh harta mereka yang bisa dibawa dengan unta-unta mereka, kecuali senjata, maka mereka akan meninggalkan senjata-senjata tersebut.

Nabi pergi ke Bani Nadhir untuk meminta bantuan kepada mereka dalam membayar tebusan 2 orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, yang keduanya dibunuh secara tidak sengaja oleh seorang muslim Amr Ibnu Umayyah Adhdhomary.

Ketika Nabi sedang duduk bersandar ke tembok, merekapun berkeinginan melemparkan batu dari atas beliau untuk membunuh beliau. Wahyu pun datang kepada beliau , kemudian beliau bersegera ke kota Madinah dan menyuruh para shahabat untuk mengepung. Setelah dikepung 6 hari, akhirnya mereka menyerah dan bersedia diusir dari Madinah, dengan syarat boleh membawa harta-harta mereka yang bisa mereka bawa dengan unta, kecuali senjata.

Disebutkan di dalam Al Qur’an surat Al Hasr ayat yang ke 5, bahwa Nabi dan para shahabatnya membakar dan memotong sebagian pohon qurma milik orang Yahudi Bani Nadhir selama pengepungan.

Setelah mereka diusir, maka sebagian Bani Nadhir tinggal di Khoibar seperti Khuyai bin Ahtob, Salam bin Abil Khukaik dan Qinanah bin Ar Robii. Dan sebagian besar mereka pergi ke Syam.

Pengusiran Bani Nadhir ini mengakibatkan beberapa hal, di antaranya:

  1. Melemahnya kekuatan Yahudi dan orang-orang munafik di Madinah.
  2. Menguatnya Islām di kota Madinah.
  3. Orang-orang Yahudi sekarang mengetahui, bahwa orang-orang munafik tidak bisa dipercaya janjinya. Mereka tidak menolong Bani Nadhir ketika diperangi dan mereka tidak keluar bersama Bani Nadhir, ketika Bani Nadhir diusir dari Madinah.
  4. Orang-orang Muhajirin yang sebelumnya mereka tinggal di tanah-tanah orang Anshor dan rumah-rumah mereka, akhirnya mereka memiliki rumah dan tanah sendiri.

==

HSI 10 ~ Halaqah 61-65

 Group WA HSI Abdullah Roy
 hsi.abdullahroy.com
════
❁✿❁ ════

 Silsilah ‘Ilmiyyah 10.3 Sirah Nabawiyyah

Halaqah 61 ~ Peperangan Bani Quraizhah

Halaqah 62 ~ Disyari’atkannya Jihad Fi Sabilillah

Halaqah 63 ~ Awal Mula Disyariatkan Jihad

Halaqah 64 ~ Perpindahan Kiblat

Halaqah 65 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 01)

 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

════ ❁✿❁ ════

Halaqah 61 ~ Peperangan Bani Quraizhah

Setelah diusir, orang-orang Bani Nadhir masih menyimpan di dalam hati mereka dendam yang besar kepada Rasulullãh dan para shahabatnya. Mereka berusaha memanas-manasi orang-orang musyrikin Quraisy dan Ahzab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan juga yang lain untuk menyerang kota Madinah. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa mereka datang ke kota Mekkah dan di antara mereka adalah Sallam bin Abil Hukaiq dan Qinanah bin Abil Hukaiq serta Huyay bin Akhtof. Kemudian dengan sebab inilah terjadi perang Khondak di mana 10 ribu orang-orang kafir yang terdiri dari orang-orang Quraisy, orang-orang Khothofan dan orang-orang Yahudi, menyerang dan mengepung kota Madinah. Peperangan ini terjadi di bulan Syawal tahun ke-5 Hijriyah.

Setelah terjadi perang Khondak, terjadilah perang Bani Quraizhah, yaitu di akhir Dzulqo’dah tahun ke-5 Hijriyah. Sebabnya, karena banyak Quraizhah telah membatalkan perjanjian antara mereka dengan Nabi . Mereka telah membatalkan perjanjian tersebut karena dipanas-panasi oleh Huyay bin Akhtof di waktu di mana kaum muslimin dalam keadaan genting dikepung oleh 10 ribu pasukan perang dari kalangan orang-orang kafir.

Ringkasnya, Nabi mengepung Bani Quraizhah selama 25 hari. Setelah itu mereka menyerah dan siap menerima dengan hukum Rasulullãh . Maka, Nabi memutuskan untuk membunuh laki-laki mereka dan ditawan wanita dan anak-anak mereka, sebagai balasan bagi orang-orang yang telah berkhianat dan bekerja sama dengan musuh. Penghianatan mereka kepada kaum muslimin akibatnya bisa fatal, karena akibat dari penghianatan tadi adalah terbunuhnya kaum muslimin dan diambilnya harta mereka dan ditawan wanita dan anak-anak mereka. Oleh karena itu Bani Quraizhah dihukum dengan yang semisalnya, sebagai balasan yang setimpal bagi mereka.

Halaqah 62 ~ Disyari’atkannya Jihad Fi Sabilillah

Yang dimaksud dengan Jihad di dalam syariat Islām adalah berperang di jalan Allāh untuk meninggikan kalimat Allāh. Jihad tidak disyariatkan di Mekkah karena saat itu kaum muslimin sedikit dan lemah. Yang diperintahkan saat itu adalah bersabar, menambah keimanan, menjaga ibadah, berdakwah, dan tidak diperintahkan untuk mengangkat senjata dan melawan kaum musyrikin.

Saat itu mereka masih hidup bersama orang-orang musyrikin, tidak memiliki tempat khusus untuk pasukan, yang mereka miliki hanyalah Daarul Arkom, sebagai tempat untuk mempelajari agama Islām dan ini adalah bagian dari hikmah di dalam dakwah. Seandainya saat itu sudah disyariatkan jihad, niscaya orang-orang Islām akan dihabisi semenjak awal munculnya.

Ketika kaum Muslimin berhijrah ke kota Madinah, memiliki kekuatan dan kemampuan, baik jumlah pasukan maupun senjata, dan mereka memiliki daerah sendiri, barulah disyariatkan jihad dan tahap pertama disyariatkannya jihad adalah ijin untuk membela diri.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka didzolimi, sesungguhnya Allāh Maha Mampu menolong mereka”

[QS. Al-Hajj: 39]

Kemudian tahap yang kedua, diizinkan kaum muslimin berperang untuk membela diri dan akidah, sebagaimana firman Allāh:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allāh orang-orang yang memerangi kalian dan janganlah kalian berlebihan, Sesungguhnya Allāh tidak mencintai orang-orang yang berlebihan“

[QS. Al-Baqarah: 190]

Dan yang ketiga, diperintahkan kaum muslimin untuk memerangi orang-orang musyrikin dan memulai di dalam berperang supaya semakin tersebar akidah Islāmiah tanpa dihalang-halangi.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada kesyirikan dan jadilah agama ini semuanya milik Allāh“

[QS. Al-Anfal: 39]

Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
”Telah diwajibkan atas kalian berperang dan dia adalah sesuatu yang kalian benci dan terkadang kalian membenci sesuatu padahal dia adalah lebih baik bagi kalian dan terkadang pula kalian mencintai sesuatu dan dia adalah jelek bagi kalian dan Allāh mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui”

[QS. Al-Baqarah: 216]

Jihad disyariatkan sampai hari kiamat.

Nabi mengatakan:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

”Barangsiapa yang meninggal dunia dan dia tidak berjihad dan tidak meniatkan dalam dirinya untuk berjihad maka dia meninggal di atas cabang kenifaqan”

HR. Muslim

Hukum berjihad adalah fardhu kifayah. Kecuali, apabila negeri kaum muslimin diserang oleh musuh, maka dalam keadaan demikian wajib atas semuanya untuk membela.

Jihad sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, memiliki hukum-hukum, aturan-aturan. Sebagaimana dalam ilmu fikih, kapan disyariatkan, kapan tidak, apa syarat-syaratnya, apa rukun-rukunnya, siapa yang dihalalkan darahnya dan siapa yang diharamkan darahnya, maka kewajiban seseorang adalah mempelajari agama Allāh azza wa jalla dan tidak beramal kecuali berdasarkan ilmu.

Halaqah 63 ~ Awal Mula Disyariatkan Jihad

Tujuan jihad di dalam Islām adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allāh menuju ke penghambaan kepada Allāh saja Rabbul ‘alamin.

Allāh berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada kesyirikan dan jadilah agama ini semuanya adalah milik Allāh”

[QS. Al-Anfal: 39]

Awal mula disyariatkannya Jihad bagi kaum muslimin, diarahkan ke sebelah Barat kota Madinah. Yang demikian memiliki 3 tujuan:

  1. Mengancam jalan perdagangan orang-orang Quraisy ke Syam.
  2. Membuat perjanjian dengan suku-suku dan kabilah-kabilah yang ada di daerah tersebut supaya bisa bekerja sama dalam memerangi orang-orang Quraisy atau minimal mereka netral, tidak berpihak. Karena pada asalnya kabilah-kabilah tersebut cenderung membela Quraisy dan bekerja sama dengan mereka, karena merekalah yang mengamankan perdagangan ke Syam dan setiap tahun kabilah-kabilah tersebut berhaji ke kota Mekkah dan orang-orang Quraisy merekalah yang menjadi penduduk kota Mekkah. Demikian pula mereka cenderung kepada orang-orang Quraisy karena kesamaan aqidah, yaitu aqidah berhala yang mereka miliki.
  3. Untuk menampakkan kekuatan kaum muslimin di depan orang-orang Yahudi dan sisa-sisa orang musyrikin yang masih ada di kota Madinah.

Peperangan pertama dinamakan dengan peperangan Abwa, sebuah tempat yang berjarak 24 mil dari kota Madinah. Peperangan yang pertama ini tidak terjadi pertumpahan darah. Namun, mereka berhasil mengadakan perjanjian perdamaian dengan kabilah Domroh bin Kinanah. Sebuah pasukan kaum muslimin juga dikirim ke sebuah daerah yang bernama Saiful Bahr untuk mencegat rombongan dagang orang-orang Quraisy. Dari sinilah orang-orang Quraisy menyadari bahwa perdagangan mereka terancam.

Apa yang dilakukan oleh Kaum muslimin bukanlah seperti perampok jalanan. Karena saat itu kaum muslimin sedang berperang dan orang yang sedang berperang dituntut untuk melemahkan musuh baik secara ekonomi maupun kekuatan manusia. Kemudian yang kedua, mereka melakukan itu untuk mengambil harta mereka yang dahulu diambil oleh orang-orang Quraisy ketika kaum muslimin meninggalkan kota Mekkah dan hijrah ke kota Madinah.

Halaqah 64 ~ Perpindahan Kiblat

Nabi dahulu ketika di Mekkah melakukan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis dan menjadikan Ka’bah antara beliau dengan Baitul Maqdis.

Ketika beliau hijrah ke kota Madinah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama kurang lebih 16 bulan.

Orang-orang Anshor, mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis kurang lebih 3 tahun dan pada pertengahan bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah, yaitu dua bulan sebelum terjadinya perang Badr, terjadilah perpindahan Kiblat.

Orang-orang Yahudi ketika melihat Nabi dan para shahabatnya shalat menghadap ke Baitul Maqdis, mereka bergembira. Mereka mengatakan sambil mengejek “Muhammad menyelisihi kita, tetapi dia mengikuti kiblat kita”. Maka Nabi berharap Wahyu turun dan beliau berkeinginan seandainya kiblat berubah menjadi ke arah Ka’bah, Allāh pun mengabulkan keinginan beliau. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkata:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ..
“Sungguh Kami telah melihat bolak baliknya wajahmu ke arah atas, maka sungguh Kami akan memalingkan wajahmu ke arah kiblat yang engkau ridhoi, maka palingkanlah wajahmu ke arah al-Masjidil Haram dan dimanapun kalian berada maka hendaklah kalian hadapkan wajah-wajah kalian ke arahnya.”

[QS. Al-Baqarah: 144]

Ibnu Hajar rahimahullah, di dalam Fathul Baari, menyebutkan setelah mengumpulkan beberapa riwayat, bahwa shalat menghadap ke Ka’bah yang pertama, yang beliau lakukan adalah shalat Dzuhur di masjid Bani Salimah, atau yang sekarang dikenal dengan Masjid kiblatain. Dan shalat menghadap ke Ka’bah yang pertama, yang beliau lakukan di Masjid Nabawi adalah shalat Ashar. Adapun di Kuba, maka penduduk Kuba melakukan shalat pertama menghadap Ka’bah adalah ketika shalat subuh.

Perpindahan Kiblat ini membuat orang Yahudi marah. Mereka mengatakan “Bahwa kebaikan adalah dengan menghadap arah Baitul Maqdis.”. Maka, Allāh menurunkan FirmanNya:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah kebaikan itu kalian memalingkan wajah-wajah kalian ke arah Timur dan Barat, akan tetapi kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allāh dan hari Akhir dan para Malaikat dan Kitab serta para Nabi.”

[QS. Al-Baqarah: 177]

Dan mereka bertanya-tanya, apa yang memalingkan Muhammad dan para shahabatnya dari Baitul Maqdis. Maka Allāh menurunkan FirmanNya:

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka akan berkata orang-orang yang bodoh di antara manusia apa yang memalingkan mereka dari kiblat mereka yang dahulu mereka menghadapnya, katakanlah wahai (Muhammad) milik Allāh Timur dan juga Barat, Allāh memberikan petunjuk siapa yang dikehendaki kepada jalan yang lurus.”

[QS. Al-Baqarah: 142]

Di antara hikmah dipindahkannya kiblat adalah untuk ujian bagi orang-orang yang beriman apakah mereka mengikuti Rasulullãh atau tidak. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan tidaklah Kami menjadikan kiblat yang dahulu engkau menghadapnya, kecuali supaya kami mengetahui siapa yang mengikuti rasul dari orang-orang yang murtad dan sungguh ini adalah berat, kecuali bagi orang-orang yang Allāh berikan hidayah dan tidaklah Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyia-nyiakan keimanan kalian, sesungguhnya Allāh Maha Penyantun dan Penyayang bagi manusia.”

[QS. Al-Baqarah: 143]

Halaqah 65 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 01)

Orang-orang Quraisy masih mengirimkan rombongan-rombongan dagang ke Syam meskipun diancam oleh orang-orang Islām. Rombongan dagang Abu Sufyan yang besar, sedang membawa uang yang banyak milik orang-orang Quraisy, dijaga sekitar 30 atau 40 orang. Maka Nabi ketika mengetahui hal ini, beliau mengirim mata-mata untuk melihat kondisi rombongan Abu Sufyan. Dan ketika mendapatkan kabar akan lewatnya rombongan Abu Sufyan, segera beliau mengajak para shahabatnya yang sudah siap untuk keluar bersama beliau supaya tidak kehilangan kesempatan. Maka keluarlah 319 orang, 100 diantaranya Muhajirin dan sisanya adalah Anshor, dengan persiapan seadanya tanpa persiapan perang. Dan Nabi menyuruh Abdullah bin Ummi Maktum untuk mengimami manusia, selama ditinggal oleh beliau.

Dan saat itu kaum muslimin yang bersama Nabi hanya memiliki 70 unta. Merekapun bergantian dalam menaiki unta. Dan Nabi saat itu bergantian dengan Abu Lubabah dan Ali bin Abi Thalib dalam menaiki 1 Unta. Dan ini menunjukkan kekuatan Nabi yang saat itu berumur 55 tahun dan keinginan beliau beliau yang besar untuk mendapatkan pahala dari Allāh.

Ketika Abu Sufyan mendengar usaha kaum muslimin untuk menghadang rombongannya, maka dia mengambil jalan lain yang lebih dekat ke pantai dan mengutus Domdom bin Amr Al Ghifari menuju ke Mekkah untuk meminta bantuan kepada penduduk Mekkah. Maka, penduduk Mekkah setelah mendengar kabar yang sangat mengagetkan, menyakitkan, dan menghinakan, dan bisa mengganggu perekonomian mereka di kemudian hari, segera mereka mempersiapkan diri untuk mengamankan harta mereka. Mereka kerahkan seluruh kemampuan baik tentara, pasukan berkuda, dan harta mereka, sehingga jumlah mereka sampai 1000 orang dan bersama mereka 200 kuda dan para biduanita.

Ketika sampai di Juhfah, sebuah daerah dekat dengan Badr, datang kabar bahwa rombongan dagang mereka selamat, maka sebagian pasukan ada yang memilih pulang. Adapun sebagian besar yang lain, maka tetap ingin melanjutkan perjalanan dengan tujuan untuk memberi pelajaran kepada kaum muslimin sehingga tidak mengganggu perdagangan mereka kembali dan juga untuk mengumumkan dan memberi tahu kepada orang-orang Arab tentang kekuatan besar mereka.

==

HSI 10 ~ Halaqah 66-70 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 02-06)

 Group WA HSI Abdullah Roy
 hsi.abdullahroy.com
════
❁✿❁ ════

 Silsilah ‘Ilmiyyah 10.3 Sirah Nabawiyyah

 Halaqah 66-70 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 02-06)

 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

════ ❁✿❁ ════

Rasulullãh mengetahui jumlah pasukan Quraisy dari Unta yang disembelih untuk makan dalam satu hari. Satu Unta adalah untuk makan sehari seratus orang dan mereka setiap harinya menyembelih 10 Unta. Sehingga, diketahui bahwa jumlah pasukan orang-orang Quraisy kurang lebih 1000 orang. Beliau juga mengetahui info tentang pasukan Quraisy dari sebagian mereka yang telah tertawan oleh pasukan muslimin.

Sebagian pasukan Muslimin merasa tidak siap berperang menghadapi musuh karena tujuan utama mereka semula adalah untuk menghadang rombongan dagang Quraisy.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“Sebagaimana Allāh telah mengeluarkan dirimu (wahai Muhammad) dari rumahmu dengan kebenaran dan sesungguhnya sebagian orang-orang yang beriman tidak menyukainya.”

[QS. Al-Anfal: 5]

Di sisi yang lain orang-orang Anshor, pada baiat aqobat yang kedua telah membaiat Nabi untuk menjaga beliau dan menolong beliau di kota Madinah dan tidak membaiat beliau untuk berperang di luar kota Madinah. Sehingga kita mengetahui bahwasanya pasukan-pasukan yang diutus sebelumnya untuk berperang keluar dari kota Madinah hanya terdiri dari orang-orang Muhajirin. Karena dalam peperangan ini ada orang-orang Anshor bahkan mereka adalah mayoritas, maka Nabi bermusyawarah dengan para shahabatnya, khususnya orang-orang Anshor.

Berkata al-Miqdad bin Amr, ketika mendengar kabar dari Nabi tentang orang-orang Quraisy, “Wahai Rasulullãh, lakukan sesuai dengan apa yang Allāh tampakkan kepadamu, maka kami akan bersamamu. Demi Allāh, kami tidak berkata kepadamu seperti ucapan Bani Israel kepada Musa: Pergilah kamu dan Rabbmu, kemudian berperanglah, kami duduk disini. Akan tetapi, pergilah kamu dan Rabbmu dan berperanglah, kami akan berperang bersama kalian. Maka, Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, seandainya engkau membawa kami masuk ke dalam tanah, niscaya kami akan bersungguh-sungguh bersamamu sehingga engkau sampai tujuan”. Berkata Nabi “Baik”. Kemudian beliau mendoakan kebaikan bagi mereka.

Kemudian beliau meminta pendapat Anshor “Berikanlah isyarat kepadaku wahai manusia”. Berkata Sa’ad bin Muadz sebagai pemuka orang-orang Anshor “Demi Allāh, sepertinya engkau menginginkan kami wahai Rasulullãh”. Beliau mengatakan “Iya”. Sa’ad bin Muadz berkata “Sungguh kami telah beriman denganmu dan membenarkan dirimu, bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah benar dan kami telah memberikan kepadamu janji-janji kami untuk senantiasa mendengar dan taat kepadamu, maka lakukanlah wahai Rasulullãh apa yang engkau inginkan, kami akan bersamamu. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut kemudian engkau masuk ke dalamnya, niscaya kami akan masuk bersamamu. Tidak ada di antara kami yang ketinggalan seorangpun dan kami tidak benci engkau mempertemukan kami dengan musuh-musuh kami besok, sungguh kami adalah orang-orang yang bersabar dalam berperang, jujur ketika bertemu dengan musuh, semoga Allāh memperlihatkan kepadamu tentang kami apa yang membuat sejuk matamu, maka berjalanlah di atas berkah Allāh”.

Maka Nabi sangat berbahagia dengan ucapan Sa’ad bin Muadz. Kemudian beliau berkata “Berjalanlah kalian dan berbahagialah, karena Allāh akan menjanjikan kepadaku satu di antara dua golongan. Demi Allāh, aku telah melihat tempat-tempat terbunuhnya mereka”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dengan sanad yang shahih.

Yang dimaksud dengan dua golongan:

  1. Rombongan pedagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
  2. Pasukan orang-orang Quraisy.

Maka, Nabi dijanjikan oleh Allāh mendapatkan satu di antara keduanya. Lihat QS. Al-Anfal: 7.

Setelah Nabi melihat semangat kekompakan dan keberanian para shahabat untuk berperang, mulailah beliau mengatur pasukan. Beliau menunjuk Musa’ad bin Umair sebagai pembawa Liwa yang berwarna putih dan memberikan dua Royah yang berwarna hitam kepada Ali bin Abi Thalib dan Sa’ad bin Muaz. Sementara Qois bin Abi So’soah di bagian belakang.

Yang dimaksud dengan Liwa adalah bendera yang besar dan yang dimaksud dengan Royah adalah bendera yang kecil.

Orang-orang Musyrikin berselisih pendapat, sebagian mereka ingin kembali ke Mekkah tanpa berperang karena menganggap musuh mereka adalah keluarga mereka sendiri. Namun, Abu Jahal tetap menginginkan untuk berperang. Akhirnya, pendapatnyalah yang dimenangkan. Kemudian, mereka mengirim mata-mata untuk mengetahui jumlah kaum muslimin.

Berkata Abu Jahal

اللَّهُمَّ أَقْطَعَنَا الرَّحِمَ وَآتَانَا بِمَا لَا نَعْرِفُهُ فَأَحْنِهِ الْغَدَاةَ

“Ya Allāh, siapa di antara kami yang memutus silaturahim dan datang dengan apa yang kami tidak tahu, maka binasakanlah dia besok”.

Orang-orang Islām telah sampai ke Badr dan sudah melihat tempat peperangan sebelum kedatangan orang-orang musyrikin.

Ali bin Abi Tholib radiallahu anhu menceritakan, bahwa pasukan kaum muslimin pada malam tersebut, malam tanggal 17 Ramadhon, bermalam dalam keadaan mereka tidur. Sementara di depan mereka dalam jarak yang tidak jauh ada pasukan orang-orang musyrikin. Sempat turun hujan gerimis pada malam tersebut, sehingga para shahabat berlindung di bawah pohon. Sementara Nabi di malam tersebut dalam keadaan shalat meminta kepada Allāh sampai datang waktu pagi.

Di antara doa beliau: “Ya Allāh seandainya golongan ini binasa, maka Engkau tidak akan disembah lagi”

Ketika datang waktu fajar, maka beliau memanggil para shahabatnya untuk melakukan shalat, kemudian beliau mengimami, dan setelah itu beliau berbicara dan mengobarkan semangat para shahabat untuk berperang.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ
“Ketika Allāh mengantukkan kalian supaya kalian merasa aman dan menurunkan hujan untuk kalian, untuk membersihkan kalian dari was-was syaithan, untuk menguatkan hati kalian, dan supaya kaki-kaki orang yang beriman tidak goyah“

[QS. Al-Anfal: 11]

Di pagi hari Tanggal 17 Ramadhan, beliau mempersiapkan pasukan dan menyusun pasukan secara ber shof-shof dan ini adalah cara yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang Arab sebelumnya.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allāh mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam keadaan berbaris, mereka seperti bangunan yang kuat“

[QS. Ash-Shaf: 4]

Dan dengan usulan dari Sa’ad bin Muadz radiallahu anhu, kaum muslimin membuat kubah yang kecil untuk Nabi supaya beliau terjaga dan supaya bisa mengatur pasukan dari kubah tersebut.

Ketika orang-orang musyrikin mulai mendekat, maka Rasulullãh bersabda “Janganlah salah seorang di antara dari kalian maju sehingga aku berada di depannya”.

Dan ketika orang-orang musyrikin mulai bergerak mendekati pasukan kaum muslimin, beliau mengatakan “Bangkitlah kalian menuju surga yang lebarnya selebar langit dan bumi”.

Berkata Umair Ibnu Humam al-Anshari “Wahai Rasulullãh, surga yang lebarnya selebar langit dan bumi?”

Beliau mengatakan “Iya”.

Berkata Umair “Bakhin, bakhin”.

Sebuah kata di dalam bahasa Arab yang mereka gunakan untuk pengagungan sebuah perkara.

Kemudian Rasulullãh mengatakan “Apa yang menyebabkan kamu mengatakan bakhin-bakhin?”

Umair berkata “Tidak, demi Allāh wahai Rasulullãh, tidaklah aku mengucapkannya, kecuali ingin menjadi penduduk surga”.

Beliau berkata “Engkau termasuk penduduk surga”.

Kemudian, beliau mengeluarkan beberapa kurma dari tempat anak panahnya dan memakannya. Kemudian, berkata “Kalau aku masih harus hidup sampai aku menghabiskan kurma ini, tentulah ini kehidupan yang lama”.

Kemudian, beliau segera melempar kurma-kurma tadi yang ada bersama beliau dan berperang, kemudian terbunuh.

Umar Ibn Khotob menceritakan bahwa ketika perang Badr, Nabi melihat orang-orang musyrikin yang jumlahnya 1000 orang dan melihat para shahabatnya yang jumlahnya hanya 319. Kemudian, beliau menghadap ke arah kiblat, dan mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa “Ya Allāh, wujudkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, Ya Allāh berikanlah apa yang Engkau janjikan kepadaku, Ya Allāh seandainya golongan dari kaum muslimin ini binasa niscaya Engkau tidak akan disembah”. Dan terus menerus beliau mengangkat kedua tangannya menghadap kiblat sampai terjatuh selendang dari kedua bahu beliau. Datanglah Abu Bakar dan mengambil selendang tersebut. Kemudian meletakkannya di bahu Rasulullãh . Kemudian berdiri di belakang Nabi dan mengatakan “Wahai Nabi Allāh, sudah cukup permohonanmu kepada Allāh sesungguhnya Allāh akan mewujudkan janjiNya kepadamu”.

Maka Allāh menurunkan firman Nya

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“Ketika kalian meminta pertolongan kepada Rabb kalian, kemudian Allāh mengabulkan doa kalian, sesungguhnya Aku akan menolong kalian dengan 1000 Malaikat yang turun bertubi-tubi”

[QS. Al-Anfal: 9]

Maka Allāh pun menurunkan Malaikat-malaikat. Keluar Nabi dari kubahnya dan mengatakan “Perkumpulan mereka akan dikalahkan dan mereka akan lari terbirit-birit”.

Peperangan ini diawali dengan adu tanding secara individu antara wakil orang-orang musyrikin dan juga wakil dari kalangan kaum muslimin. Adapun dari orang-orang musyrikin, maka majulah Utbah bin Robiah dan putranya Walid bin Utbah serta saudara laki-lakinya, yaitu Syaibah bin Robiah. Kemudian dari kaum muslimin, pertama muncullah beberapa pemuda Anshor yang siap melawan 3 orang tersebut. Namun, orang-orang Quraisy menginginkan supaya lawan mereka adalah orang yang berasal dari kaum mereka sendiri, yaitu dari orang Quraisy. Maka, Nabi memerintahkan Hamzah bin Abdil Muthalib, Ali Bin Abi Tholib dan juga Ubaidah bin al-Harits untuk menghadapi 3 orang tersebut.

Terbunuhlah Utbah di tangan Hamzah dan Syaibah di tangan Ali. Adapun Ubaidah dan Walid, masing-masing terluka. Kemudian Hamzah dan Ali akhirnya membantu Ubaidah dan membunuh Walid bin Utbah. Kemudian membawa Ubaidah membawa ke markas kaum muslimin.

Hasil dari adu tanding ini, sangat berpengaruh terhadap kejiwaan pasukan orang-orang Quraisy. Nabi menyuruh para shahabatnya untuk menghujani orang-orang Quraisy dengan anak panah mereka apabila mereka mendekat. Akhirnya, kedua pasukan bertemu dan Rasulullãh terjun sendiri di dalam peperangan tersebut dan beliau berperang dengan sangat hebat.

Terbunuhlah beberapa pembesar Quraisy, seperti Abu Jahl, Firaun nya umat ini, Umayyah bin Kholaf yang telah menyiksa Bilal radiallahu anhu. Allāh menurunkan para Malaikat pada peperangan ini. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ ۚ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan ketika kalian beristighosah, meminta pertolongan kepada Rabb kalian, maka Allāh mengabulkan doa kalian, Aku memberikan bantuan kepada kalian dengan 1000 Malaikat yang datang bertubi-tubi dan tidaklah Allāh menjadikan itu, kecuali sebagai kabar gembira dan supaya hati kalian menjadi tenang dan tidaklah pertolongan, kecuali dari sisi Allāh, sesungguhnya Allāh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

[QS. Al-Anfal: 10]

Ibnu Abbas bercerita bahwa ada seorang muslim pada peperangan tersebut yang mengejar seorang musyrik di depannya. Tiba-tiba dia mendengar dari atas, suara cambuk dan suara penunggang kuda yang mengatakan “Majulah ya Haizum”. Maka, dia melihat orang musyrik di depannya sudah tersungkur, dalam keadaan hidungnya dan wajahnya terdapat bekas sabetan cambuk. Kemudian dia menceritakan hal ini kepada Rasulullãh dan beliau mengatakan “Engkau benar. Ini adalah bantuan dari Malaikat-malaikat yang berada di langit yang ketiga”. Yang dimaksud dengan Haizum adalah nama kuda malaikat.

Telah terbunuh 70 orang musyrikin pada perang Badr ini dan 70 yang lain ditawan oleh kaum muslimin. Sebagian mereka terbunuh di tempat-tempat yang telah diisyaratkan oleh Rasulullãh sebelumnya, sisanya lari terbirit-birit meninggalkan medan perang dan meninggalkan banyak rampasan perang.

Rasulullãh pun menyuruh para shahabat untuk melempar mayat-mayat orang-orang musyrikin di sumur-sumur yang ada di Badr. Kemudian beliau dan para shahabatnya tinggal di Badr selama 3 hari dan menguburkan 14 orang shahabat yang terbunuh dan tidak ada di antara mereka satupun yang dibawa ke Madinah.

Pada hari yang ke-3, Nabi berdiri di depan sebuah sumur yang telah dilemparkan di dalamnya 24 pembesar Quraisy yang terbunuh. Kemudian beliau memanggil nama mereka dan nama bapak mereka dan mengatakan “Apakah menyenangkan kalian seandainya kalian dahulu menaati Allāh dan RasulNya? Sesungguhnya, kami telah menemukan apa yang Allāh janjikan untuk kami benar adanya. Apakah kalian menemukan apa yang Allāh janjikan untuk kalian benar adanya?”

Berkata Umar “Wahai Rasulullãh, mengapa engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak punya arwah?”

Rasulullãh menjawab “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah kalian lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan”.

Ini menunjukkan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjadikan mereka saat itu bisa mendengar ucapan Nabi , supaya mereka semakin merasa terhina dan semakin menyesal atas kekufuran mereka.

Nabi tidak berusaha mengejar Abu Sofyan, karena beliau memang hanya dijanjikan satu di antara dua kebaikan saja dan beliau sudah diberi kemenangan melawan orang-orang Musyrikin.

Nabi memerintahkan para shahabat untuk tidak membunuh orang-orang yang dipaksa untuk berperang dan mereka dahulu memiliki jasa bagi kaum muslimin seperti Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullãh . Akhirnya Abbas menjadi salah seorang tawanan. Nabi bermusyawarah Abu Bakar dan Umar tentang apa yang harus dilakukan terhadap para tawanan. Abu bakar mengisyaratkan untuk mengambil tebusan, sehingga bisa dimanfaatkan tebusan tadi untuk menguatkan pasukan kaum muslimin dan berharap mereka mendapatkan hidayah. Adapun Umar, maka beliau mengisyaratkan supaya tawanan dibunuh karena mereka adalah pembesar-pembesar Quraisy.

Allāh pun menurunkan ayat yang menunjukkan tentang benarnya pendapat Umar.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tidak pantas bagi Nabi untuk memiliki tawanan sampai dia melumpuhkan musuh-musuhnya di bumi, kalian menginginkan kesenangan dunia dan Allāh menginginkan akhirat. Dan Allāh, Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau bukan karena ketetapan Allāh sebelumnya, niscaya akan menimpa kalian siksaan yang besar karena tebusan yang kalian ambil. Maka makanlah dari rampasan perang yang kalian ambil sebagai makanan yang halal lagi baik. Dan bertakwalah kepada Allāh, sesungguhnya Allāh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“

[QS. Al-Anfal: 67-69]

Meskipun yang Allāh utamakan saat itu sebenarnya adalah membunuh tawanan-tawanan tersebut, namun ayat ini menunjukkan bahwa tebusan yang sudah terlanjur diambil adalah dihalalkan.

Dan setelah itu, maka seorang pemimpin diberikan kelonggaran dan pilihan, apakah dia membunuh tawanan atau mengambil tebusan atau membebaskan tanpa tebusan. Kecuali, apabila tawanannya adalah seorang wanita atau anak-anak, maka mereka tidak boleh dibunuh.

Berbeda-beda jumlah tebusan yang diambil saat itu. Ada yang tebusannya sampai 4000 dirham. Zainab putri Nabi menebus suaminya Abul Ash bin Robi’ dengan satu kalung, maka para shahabat melepas Abul Ash dan mengembalikan kalung tersebut kepada Zainab sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi . Adapun yang tidak memiliki tebusan, maka tebusannya adalah mengajarkan anak-anak Anshor menulis.

==

HSI 10 ~ Halaqah 71-75

 Group WA HSI Abdullah Roy
 hsi.abdullahroy.com
════
❁✿❁ ════

 Silsilah ‘Ilmiyyah 10.3 Sirah Nabawiyyah

 Halaqah 71 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 07)

 Halaqah 72 ~ Dampak Perang Badr Kubro

 Halaqah 73-75 ~ Perang Uhud Bagian 01-03

 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.

════ ❁✿❁ ════

Halaqah 71 ~ Perang Badr Kubro (Bagian 07)

Nabi mengeluarkan 4/5 dari rampasan perang dan dibagikan secara merata kepada para shahabat yang mengikuti perang Badr, baik mereka yang berperang melawan musuh secara langsung ataupun yang menjaga Rasulullãh ataupun mereka yang mengumpulkan rampasan perang. Adapun yang 1/5, maka dibagi menjadi 5 bagian:

  1. Untuk Allāh dan RasulNya. Maksudnya adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum.
  2. Untuk keluarga Rasulullãh /Ahlul bait
  3. Untuk anak-anak yatim
  4. Untuk orang-orang miskin
  5. Untuk Ibnu sabil atau orang-orang musafir yang kehabisan bekal.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Dan ketahuilah oleh kalian bahwasanya apa yang kalian dapatkan dari rampasan perang, maka 1/5 nya adalah untuk Allāh dan untuk Rasul, dan keluarga Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil“

[QS. Al-Anfal: 41]

Bahkan Nabi juga memberikan bagian kepada para shahabat yang mereka tidak mengikuti peperangan karena tugas yang dibebankan kepada mereka di kota Madinah atau karena terluka atau patah tulang ketika perjalanan menuju ke Badr atau karena udzur-udzur yang lain.

Dan di antara mereka yang tidak mengikuti peperangan dan mendapatkan tugas di kota Madinah adalah Utsman bin Affan yang disuruh oleh Nabi untuk menjaga Ruqayyah, istri beliau yang sakit.

Dan pembagian rampasan perang ini terjadi di Sofro, jalan menuju kota Madinah. Dan di perjalanan itu, Nabi menyuruh kaum muslimin untuk membunuh 2 orang tawanan. Yang pertama adalah Uqbah bin Abi Muayyith dan An Nadr bin Al Harits. Yang demikian karena keduanya dahulu mengganggu dan menyakiti Nabi . Uqbah, dia adalah orang yang telah menaruh kotoran Unta yang baru melahirkan di atas punggung Nabi ketika beliau sedang bersujud. Nabi dan juga para shahabatnya telah memperlakukan para tawanan tersebut dengan baik.

Zaid bin Haritsah telah terlebih dahulu menuju ke kota Madinah dengan membawa kabar gembira. Kaum muslimin pun menyambut berita tersebut dengan gegap gempita sambil khawatir apabila kabar tersebut tidak benar.

Berkata Usamah bin Zaid “Demi Allah, aku tidak percaya sampai kami melihat para tawanan. Sungguh perang Badr ini adalah Yaumul Furqon, yaitu hari pembeda antara yang benar dan yang batil”.

Karena perang ini menunjukkan bahwa aqidah lebih didahulukan daripada hubungan kekerabatan dan seluruh kepentingan. Orang-orang Muhajirin mereka memerangi kerabat mereka sendiri dan orang-orang Anshor, janji mereka untuk melindungi Nabi di kota Madinah, tidak menghalangi mereka untuk terus berperang bersama Nabi dengan dasar aqidah.

Oleh karena itu, para shahabat yang mereka mengikuti perang Badr Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan keutamaan kepada mereka.

Nabi berkata:

لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمْ الْجَنَّةُ أَوْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

“Allāh telah melihat kepada Ahlu Badr dan berkata kepada mereka, kerjakanlah apa yang kalian inginkan, sungguh telah diwajibkan atas kalian surga atau sungguh Aku telah mengampuni dosa kalian“

Diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori di dalam shahihnya.

Mereka menduduki kedudukan yang tinggi di antara para shahabat dan bahkan secara duniawi, mereka diberikan gaji yang paling besar dari negara, di zaman Umar Ibn Khotob radiallahu ta ‘ala anhu.

Halaqah 72 ~ Dampak Perang Badr Kubro

Berita kekalahan orang-orang Quraisy dan kemenangan kaum muslimin di perang Badr, memiliki pengaruh yang besar terhadap Jazirah Arab baik di Mekkah, Al Madinah, maupun di tempat-tempat yang lain.

Kedudukan kaum muslimin di kota Madinah semakin nampak. Orang-orang Yahudi menjadi ciut nyali mereka dan semakin terlihat kedengkian dan permusuhan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka semakin marah mendengar hasil dari perang Badr yang sama sekali tidak mereka sangka. Sehingga, mereka pun tidak bisa menutupi kemarahan mereka yang meledak-ledak di dalam diri mereka seperti yang dilakukan oleh Bani Qoinuqo yang akhirnya ini menjadi sebab diusirnya mereka dari kota Madinah.

Di antara dampak Perang Badr, banyaknya orang yang masuk Islām, meskipun ada di antara mereka yang masuk Islām karena menjaga kepentingan-kepentingan mereka, seperti orang-orang munafikin yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.

Orang-orang Quraisy yang berada di Mekkah, hampir-hampir mereka tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Terbunuh tokoh-tokoh mereka dan jagoan-jagoan mereka. Mereka pun berniat untuk membalas kekalahan tadi. Sempat mereka mengutus Umair bin Wahab Al Jumahi untuk membunuh Nabi secara sembunyi-sembunyi. Sofwan bin Umayyah menjanjikan kepadanya, kalau dia terbunuh maka keluarganya akan ditanggung.

Pergilah Umair ke kota Madinah. Namun, ketika Umair sampai ke Masjid Rasulullãh , Umar bin Khotob menangkapnya dan membawanya kepada Rasulullãh . Rasulullãh kemudian bertanya kepada Umair tentang tujuan dia datang ke kota Madinah, Umair pun berdusta dan mengatakan bahwa dia datang untuk menebus tawanan. Maka, Nabi mengabarkan kepada Umair tentang niat dia sebenarnya, yaitu untuk membunuh Nabi dan beliau juga mengabarkan tentang perjanjian antara dia dengan Sofwan. Ketika mendengar ucapan Nabi ini, maka tahulah Umair bahwasanya beliau adalah Nabi yang diwahyukan kepadanya. Kemudian, akhirnya dia masuk Islām dan meminta ijin kepada Nabi untuk mendakwahi orang-orang Mekkah supaya masuk ke dalam agama Islām.

Dan di antara bentuk pembalasan orang-orang Quraisy adalah membunuh Khubaid dan Zaid Ibnu ad-Datsilah, yang merupakan dua orang tawanan pada peristiwa ar Roji’, yang insya Allah datang keterangannya.

Halaqah 73-75 ~ Perang Uhud Bagian 01-03

Perang ini terjadi pada tahun ke-3 Hijriyah, setahun lebih satu bulan setelah perang Badr Qubra, tepatnya pertengahan bulan Syawal tahun ke-3 Hijriyah.

Sebab perang Uhud adalah:

  1. Karena Orang-orang Quraisy ingin membalas dendam atas kekalahan mereka di perang Badr, di mana banyak tokoh-tokoh mereka yang terbunuh.
  2. Untuk menyelamatkan rute perdagangan mereka ke arah Syam yang dikuasai kaum muslimin.
  3. Untuk mengembalikan kehormatan dan kemuliaan mereka yang sempat terkoyak setelah perang Badr.

Dinamakan perang Uhud, karena perang ini terjadi di sekitar gunung Uhud, sebuah gunung yang terletak 5,5 kilometer ke arah Utara dari Masjid Nabawi. Tingginya kurang lebih 121 meter. Di sebelah Selatannya ada gunung Ainain, yang dikenal setelah perang Uhud dengan nama Jabal ar Rumah, yaitu Gunung para pemanah. Antara Jabal Uhud dengan Jabal ar Rumah, ada lembah Qonaah.

Orang-orang Quraisy sudah mempersiapkan perang ini, sepulang mereka dari perang Badr. Pasukan mereka mencapai kurang lebih 3000 orang, 200 pasukan berkuda, 700 orang di antaranya memakai pakaian perang lengkap. Pasukan sayap kanan dipimpin oleh Kholid bin Walid dan pasukan sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abi Jahl.

Pasukan ini terdiri dari orang-orang musyrikin Quraisy, orang-orang Kinanah dan Tuhamah, yang mereka masih loyal dengan orang-orang Quraisy. Mereka juga membawa beberapa wanita, ada yang mengatakan jumlahnya adalah 14 wanita, di antaranya adalah Hindun, istri Abu Sufyan.

Sementara itu, kaum muslimin, mereka sudah mengetahui akan datangnya pasukan musyrikin. Nabi sempat bermimpi dan mimpi para Nabi adalah wahyu. Dan beliau mengajak para sahabatnya bermusyawarah, apakah mereka tetap tinggal di kota Madinah, karena kota Madinah adalah kota yang sangat kuat untuk berlindung, ataukah mereka keluar untuk menyambut pasukan Quraisy di luar Madinah. Dan Nabi lebih cenderung pada pendapat yang pertama. Namun, sebagian orang-orang Anshor mengatakan “Kami tidak senang kalau kami terbunuh di jalan-jalan kota Madinah. Kami dahulu di jaman jahiliyah tidak mau berperang di dalam kota Madinah. Maka, di dalam Islām, kami lebih tidak mau. Oleh karena itu, sambutlah pasukan tersebut di luar kota Madinah”. Nabi pun beranjak dan memakai pakaian perangnya. Akhirnya, mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain, seraya berkata “Nabi menawarkan satu perkara, kemudian kalian menawarkan perkara yang lain. Pergilah kamu wahai Hamzah kepada Nabi dan katakan kepada beliau, perkara kami mengikuti perkaramu”. Datanglah Hamzah kepada Nabi dan menceritakan apa yang terjadi. Maka, Nabi berkata “Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang Nabi, apabila sudah memakai baju perang kemudian melepaskannya sehingga dia selesai berperang”.

Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari musyawarah Nabi dengan para shahabatnya sebelum perang Uhud:

  1. Seorang pemimpin hendaknya dia meminta pendapat kepada orang-orang yang dia pimpin.
  2. Apabila seorang pemimpin sudah mengambil keputusan, maka hendaklah dia bertawakal kepada Allāh dan tidak ragu-ragu, supaya tertanam dalam diri orang-orang yang dia pimpin rasa percaya diri,

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ..
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan dan apabila dirimu sudah berazam atau bertekad, maka bertawakallah kepada Allāh”

[QS. Ali ‘Imran: 159]

Berkibarlah bendera perang, satu bendera hitam dan 3 liwa. Liwa yang pertama adalah Liwa Muhajirin, dibawa oleh Mush ab bin Umair, yang nantinya akan diganti oleh Ali bin Abi Thalib, setelah terbunuhnya Mush ab. Liwa yang kedua adalah Liwa Al Aus, yang dibawa oleh Usaib bin Khudhair, dan Liwa yang ketiga adalah Liwa Al-Khodroj, yang dibawa oleh Al Hubab bin al Mundzir.

Terkumpullah seribu orang, ada di antara mereka yang merupakan orang-orang munafik. Kaum muslimin hanya memiliki 2 kuda dan 100 orang saja yang memakai baju perang. Rasulullãh sendiri memakai dua baju perang untuk menunjukkan bahwa bertawakal kepada Allāh bukan berarti meninggalkan sebab.

Pasukan kaum muslimin bergerak menuju Uhud melewati bagian barat dari Al Haroh As-Syarkiyah. Dan ketika mendekati Uhud tepatnya di daerah As-Syaikhoini, Abdullah bin Ubaid bin Salul, pemimpin orang-orang munafik menarik diri dari pasukan kaum muslimin bersama 300 orang munafik dengan alasan bahwa tidak akan terjadi perang.

Abdullāh bin Amr bin Harom berusaha untuk membujuk mereka untuk kembali bergabung bersama kaum muslimin, namun mereka tetap tidak mau. Banu Salimah dari suku Khodroj dan Banu kharitsah dari suku Aus hampir terpengaruh dengan kejadian ini dan pulang ke Madinah. Namun, Allāh Subhānahu wa Ta’āla menguatkan mereka.

Allāh berfirman:

إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا ۗ
“Ketika dua golongan dari pihak kalian ingin mundur karena takut, padahal Allāh adalah penolong mereka”

[QS. Ali ‘Imran: 122]

Allāh menyebutkan tentang sebagian hikmah mundurnya orang-orang munafik sebelum perang tersebut, yaitu untuk membersihkan barisan kaum muslimin sehingga tidak ada di antara mereka, orang-orang yang kelak ketika perang justru membuat kekacauan barisan kaum muslimin dan akan menurunkan semangat perang.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ
“Tidaklah Allāh meninggalkan orang-orang yang beriman seperti dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Allāh membedakan antara yang jelek dengan yang baik”

[QS. Ali ‘Imran: 179]

Di antara kejadian yang terjadi sebelum perang Uhud, ketika di daerah Asy Syaikhoini, ada beberapa orang shahabat yang umurnya baru 14 tahun atau kurang, yang menawarkan diri ingin berperang bersama Nabi dan para shahabat yang lain. Namun, Nabi menolak mereka semua karena dianggap belum cukup memiliki kekuatan untuk berperang, kecuali dua orang. Yang pertama Rafi’ bin Khodij, karena beliau pandai memanah, dan yang kedua Samurah bin Junduq, karena diketahui bahwa beliau lebih kuat daripada Rafi’.

Jumlah para shahabat muda yang ditolak oleh Nabi saat itu mencapai 14 orang, di antaranya adalah Abdullah bin Umar dan ini adalah jumlah yang tidak sedikit. Menunjukkan, bagaimana Nabi dan para shahabat mendidik dan mentarbiah anak-anak mereka, menawarkan diri untuk meninggal di jalan Allāh. Padahal mereka masih muda belia, tanpa ada paksaan dari seorang pun. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan Taufiq kepada orang tua untuk bisa mendidik anak-anak mereka dengan didikan para salaf.

Bergeraklah pasukan kaum muslimin ke Uhud dan masing-masing menempati posisi sesuai dengan yang direncanakan. Nabi mengatur pasukan mereka, menjadikan gunung Uhud di belakang mereka, menempatkan 50 orang pemanah yang dipimpin Abdullah bin Jubair di atas gunung ‘Ainaini, Gunung yang berada tepat di depan gunung Uhud. Mereka ditempatkan di sana untuk melindungi kaum muslimin, apabila ada pasukan berkuda orang-orang musyrikin yang mencoba menyerang mereka dari belakang. Ini adalah peran yang sangat penting, sampai-sampai Nabi mengatakan kepada pasukan pemanah

إِنْ رَأَيْتُمُونَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلَا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ وَإِنْ رَأَيْتُمُونَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلَا تَبْرَحُوا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ

“Apabila kalian melihat burung-burung mematuki kami, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini. Dan apabila kalian melihat kami mengalahkan mereka dan kami menginjak-injak mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini”.

HR Al Bukhari

Di dalam sebagian riwayat yang lemah, disebutkan bahwa sebelum perang antara dua pasukan, Ali bin Abi Tholib perang tanding dengan Tholhah bin Utsman, pemegang bendera orang-orang Musyrikin, dan Ali pun berhasil membunuhnya. Hamzah ditantang oleh Siba’ bin Abdil Uzza, untuk perang tanding juga, dan Hamzah pun berhasil membunuhnya.

Kemudian terjadilah perang yang dahsyat antara kaum muslimin dan orang-orang musyrikin, dan untuk memberikan semangat kepada kaum muslimin, Nabi mengambil pedang kemudian mengatakan “Siapa yang mengambil dariku pedang ini?”. Maka masing-masing mereka membuka tangannya dan mengatakan “Saya”. Kemudian Nabi berkata “Siapa yang mengambilnya dengan hak nya?”. Maka, merekapun terdiam. Kemudian berkata Abu Dujanah “Saya yang akan mengambilnya dengan haknya”. Maka Abu Dujanah pun mengambilnya dan memecah pasukan musyrikin dengan pedang tadi. (HR Muslim)

Hamzah berperang saat itu dengan semangat dan kekuatan yang luar biasa, Wahsi, budak Zubair bin Mut’im, telah dijanjikan oleh majikannya, apabila berhasil membunuh Hamzah, dia akan dibebaskan. Zubair melakukan ini karena balas dendam kepada Hamzah yang telah membunuh Tuaimah bin Adi di perang Badr. Wahsi pun bersembunyi di belakang batu besar dan ketika Hamzah mendekat, Wahsi melempar tombak kecilnya ke arah Hamzah dan membunuhnya.

Pada fase pertama ini, juga terbunuh Mush’ab bin Umair, pemegang bendera kaum muslimin, seorang dai. Beliau terbunuh dalam keadaan tidak meninggalkan sesuatu apapun, kecuali sehelai kain yang digunakan untuk mengkafani beliau. Kain kafan yang bila digunakan untuk menutupi kepalanya, terbuka kedua kakinya, dan kalau digunakan menutup kedua kakinya, terbuka kepalanya. Setelah itu, Ali bin Abi Tholib, beliaulah yang memegang bendera kaum muslimin.

 

 

 

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HSI 10 Halaqah 51 – 75 "

Posting Komentar