Halaqah 10 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 1

Halaqah 10 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 1

Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang ke-10 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Beliau (rahimahullāh) mengatakan:

اَلْأَصْلُ الثَّالِثُ :
أَنَّ مِنْ تَمَامِ الاجْتِمَاعِ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ لِمَنْ تَأَمَّرَ عَلَيْنَا وَلَوْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

• Pokok yang ketiga :

Sesungguhnya termasuk kesempurnaan bersatu adalah mendengar dan taat kepada orang yang telah berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa kita).

Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan persatuan, setelah kemarin beliau membahas tentang masalah bersatu diatas hak (diatas Al Qur’ān diatas hadīts) dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, maka beliau menyebutkan pada perkara yang ketiga ini bahwa diantara yang menyempurnakan persatuan diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau mendengar dan taat kepada penguasanya.

Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak dan in syā Allāh akan kita sebutkan dalīl-dalīl dari Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah kewajiban mendengar dan taat kepada pemerintah dan juga penguasa kita.

Beliau (rahimahullāh) mengatakan:

“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan”

Tidak mungkin seseorang atau kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila disana ada penguasa, ada pemerintah yang dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi orang yang terzhālimi, beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syar’iat dan melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali apabila disana ada penguasa.

Termasuk kesempurnaan persatuan bagi umat Islām adalah mendengar dan taat kepada penguasa.

Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa.

Seandainya disana ada seorang penguasa (memerintah disebuah negara) akan tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa tersebut sama dengan tidak adanya.

Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat Islām kecuali dengan adanya penguasa baik penguasa tersebut adalah penguasa yang shālih maupun penguasa yang tidak shālih.

Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau memerintah kecuali kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.

Oleh karena itu Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu (diriwayatkan dari beliau).

Beliau mengatakan:

لا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ

“Tidak ada Islām kecuali dengan berjamā’ah, kecuali dengan bersatu, dan tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada penguasa, dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan”

Islām tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin, karena banyak ibadah atau syar’iat didalam agama Islām yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin).

Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali disana ada pemimpinnya.

Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun seandainya tidak ada pemimpin maka masing-masing merasa tidak dikuasai oleh orang lain. Sehingga melakukan apa yang dia ingin kan.

Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk melarang dia, membuat peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila disana ada pemimpinnya.

Oleh karena itu didalam Islām, ketika seseorang safar bersama yang lain, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin. (Ketika dalam bepergian apalagi didalam keadaan seseorang dalam keadaan muqim)

Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila memiliki pemimpin.

Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu),

“Tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada imārah ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan”

Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan dengan kekuasaan kecuali apabila anggotanya, rakyatnya mentaati penguasa tersebut.

Disini kita memahami hubungan yang erat antara Islām dan ketaatan kepada pemerintah.

Beliau (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu) mengatakan:

لا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ

Hubungan antara Islām dengan ketaatan kepada pemerintah sangat erat, dan ini diucapkan oleh seorang khulafā’ur rāsyidīn yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya.

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ

Menunjukkan tentang pentingnya didalam Islām, taat kepada penguasa dan juga pemerintah kita.

Oleh karena itu beliau (rahimahullāh) mengatakan,

أَنَّ مِنْ تَمَامِ الاجْتِمَاعِ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ لِمَنْ تَأَمَّرَ عَلَيْنَا

Bagi orang yang telah Allāh taqdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia adalah orang yang shālih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat) apabila Allāh telah menjadikan dia sebagai seorang penguasa, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat.

Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:

وَلَوْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak dari Habasyah”

Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat.

Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan seandainya (qadarullāh) yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.

Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah dikenal oleh orang-orang Arab sebagai budak yang dimata manusia adalah seorang yang rendah (kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka bukan seorang budak maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.

Dan ucapan beliau ini diambil dari hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat diakhir hayat beliau.

Suatu hari setelah shubuh beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat dengan nasehat yang sangat dalam.

Kemudian salah seorang shahābat berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ! كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ

“Yā Rasūlullāh, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah.

(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar hati para shahābat dan membuat mata mereka menangis).

Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”

Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan ditinggalkan.

Apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ

“Aku wasiat kan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allāh”

Nasehat pertama yang beliau ucapkan kepada para shahābat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada Allāh.

Kemudian apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam katakan?

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadikan amir (penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah”

Nasehat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para shahābat, adalah:

Bertaqwa kepada Allāh.
Taat kepada pemerintah kita (penguasa kita) meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.

Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat bahkan beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua setelah beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāhu Ta’āla A’lam

Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Halaqah 10 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 1"

Posting Komentar