Halaqah 11 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 2
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن والاه
Halaqah yang ke-11
dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah),
sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At
Tamimi rahimahullāh.
Kemudian beliau
(rahimahullāh) mengatakan:
فَبَيَّنَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ هَذَا بَيَانًا شَائِعًا ذَائِعًا بِكُلِّ وَجْهٍ مِنْ
أَنْوَاعِ الْبَيَانِ شَرْعًا وَقَدَرًا
Kemudian Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan perkara ini dengan penjelasan yang
cukup dengan berbagai uslub (cara) baik secara syar’iat maupun dengan taqdir.
Allāh Subhānahu wa
Ta’āla telah menjelaskan pentingnya mendengar dan taat kepada penguasa dengan
penjelasan yang sangat jelas. Didalam Al Qurān dan dijelaskan oleh Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang shahīh baik dengan
tinjauan syar’iat maupun dari segi taqdir.
Didalam Al Qurān
diantaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang
yang beriman, taatlah kalian kepada Allāh dan taatlah kalian kepada rasūl, dan
ulil amri “diantara kalian”
(QS. An-Nissā’: 59)
Dan yang dimaksud
dengan ulil amri disini adalah para ulamā dan para pemerintah (para penguasa).
Allāh mengatakan
kepada orang-orang beriman:
“Wahai orang-orang
yang beriman (yang merasa bahhwasanya dia beriman kepada Allāh, beriman kepada
malāikat, beriman kepada kitāb-kitab, beriman kepada para rasūl, beriman kepada
hari akhir, beriman kepada taqdir) Hendaklah kalian taat kepada Allāh dan taat
kepada rasūl dan orang yang memerintah diantara kalian”
Ulil amri sebagaimana
disebutkan oleh para mufasirin adalah para ulamā dan juga para umara, kita
diperintah untuk mentaati mereka, dan ini menunjukkan tentang wajibnya mentaati
pemerintah dan juga penguasa, karena Allāh mengatakan, أَطِيعُوا۟ (hendaklah kalian mentaati).
Namun ketaatan kepada
seorang penguasa dan pemerintah bukanlah ketaatan yang mutlaq, berbeda dengan
ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya.
Oleh karena itu ketika
menyebutkan Allāh dan juga rasūl Nya, didahului dengan kalimat أَطِيعُوا۟.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ
Karena ketaatan kepada
Allāh dan rasūl Nya adalah ketaatan yang mutlaq.
Adapun ketika
menyebutkan ulil amri maka Allāh mengatakan وَأُو۟لِى
ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ (dan pemerintah diantara kalian) Karena
ketaatan kepada pemerintah dan penguasa bukanlah ketaatan yang mutlaq, akan
tetapi ketaatan yang berada didalam ketaatan, ketaatan di dalam ketaatan kepada
Allāh dan rasūl Nya.
Apabila seorang
pemerintah dan penguasa, memerintah dengan perkara yang sesuai dengan syar’iat,
sesuai dengan kehendak Allāh dan rasūl Nya, maka perintah tersebut harus
ditaati.
Namun apabila dia
memerintah dengan kemaksiatan dengan sebuah dosa dengan sebuah perkara yang
bertentangan dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka perintah tersebut
tidak boleh ditaati.
Adapun didalam hadīts
maka diantara dalīl yang menunjukkan penting dan wajibnya kita mendengar dan
taat kepada pemerintah adalah tadi yang kita sebutkan ketika beliau
(shallallāhu ‘alayhi wa sallam) berwasi’at kepada para shahābat.
⑴ Wasi’at dengan ketaqwaan.
⑵
Wasi’at dengan mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang berkuasa adalah
seorang budak dari Habasyah.
Dan diantara dalīlnya
dari sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah ucapan Ubadah ibnu Shāmid
ketika beliau mengatakan:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي
مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا، وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا
“Kami dahulu membaiat
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mendengar dan taat baik ketika
kami dalam keadaan semangat maupun dalam keadaan malas baik dalam kesusahan
maupun dalam kemudahan”
Mendengar dan taat
meskipun harus diambil sebagian dari hak kami, baik hak harta maupun yang lain.
Meskipun diambil
sebagian hak kita, baik harta maupun yang lain, maka tidak boleh ini menjadikan
kita keluar dari ketaatan kepada pemerintah.
Kemudian beliau
mengatakan:
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ
“Dan kami telah
membaiat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk tidak memberontak,
untuk tidak mengambil kekuasaan dari yang memiliki”
Ini adalah isi dari
baiat para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum kepada Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam, diantaranya adalah supaya kita tidak mengambil kekuasaan
dari pemiliknya.
Yaitu memberontak
kepada pemerintah, memberontak kepada penguasa yang sah, maka ini diharamkan
didalam agama kita.
Kemudian beliau
mengatakan:
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا،
عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ.
“Kecuali apabila
engkau melihat kekufuran yang jelas kekāfiran yang jelas dari pemerintah
tersebut dan engkau memiliki dalīl (memiliki burhan) yang sangat jelas yang
tidak ada kesamaran didalamnya maka dalam keadaan seperti itu boleh seseorang
memberontak”
Yaitu apabila melihat
kekufuran, dan disini beliau mengatakan كُفْرًا
بَوَاحًا (kekufuran yang jelas) artinya, bukan sekedar keragu-raguan
atau kekufuran yang samar, kekufuran yang jelas maksudnya adalah kekufuran yang
semua umat Islām bersepakat atas kekufuran tersebut.
Dan disana ada dalīl
yang jelas didalam Al Qurān maupun hadīts yang mengatakan bahwasanya ini adalah
sebuah kekufuran dan bukan hanya sekedar keraguan, bukan sekedar kemaksiatan.
Engkau memiliki dalīl dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas masalah tersebut.
Dan para ulamā
menyebutkan ini adalah perkecualian, dan ini menunjukkan kepada kita hanya
sekedar melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang penguasa maka ini tidak
menjadikan dan tidak membolehkan seseorang untuk keluar dan memberontak kepada
pemerintah, karena beliau mengatakan كُفْرًا بَوَاحًا
(sebuah kekāfiran yang sangat jelas).
Adapun hanya melihat
kemaksiatan yang dilakukan oleh pemerintah, maka ini tidak boleh menjadikan
seseorang keluar dan memberontak kepada pemerintah tersebut.
Yang dinamakan dengan
korupsi, maka ini adalah sebuah kemaksiatan dan bukan kekufuran dan tidak boleh
menjadikan seseorang atau menjadikan seseorang memberontak dan keluar kepada
pemerintah.
Berbuat zhālim adalah
kemaksiatan, kemaksiatan tersebut akan ditanyakan oleh Allāh Subhānahu wa
Ta’āla kepada penguasa di hari kiamat, kemaksiatan dia adalah untuk dia sendiri
dan kewajiban kita adalah mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut, selama
perintah tersebut sesuai dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ucapan beliau:
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
Menunjukkan kepada
kita bahwasanya kemaksiatan tidak menjadikan seseorang keluar dari ketaatan
kepada pemerintah kita.
Dan disini beliau
memberikan syarat-syarat yang ketat sebuah kekāfiran dan kekāfiran tersebut
adalah kekāfiran yang sangat jelas dan memiliki dalīl yang sangat kuat.
Allāhu Ta’āla A’lam
Itulah yang bisa kita
sampaikan pada kesempatan kali ini.
وبالله التوفيق و
الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
0 Response to "Halaqah 11 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 2"
Posting Komentar