Halaqah 12 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 3

 Halaqah 12 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 3



 

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه

Halaqah yang keduabelas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Para ulamā menjelaskan apabila memang terjadi kekufuran yang sangat jelas dari seorang penguasa (dari seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi dan ini sebutkan oleh para ulamā.

Apabila tidak terjadi di sana kerusakan yang lebih besar.

Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar, apabila seseorang memberontak karena pemerintahnya melakukan kekufuran, melakukan kekāfiran yang jelas, apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini disebutkan oleh para ulamā di dalam kitāb-kitābnya.

Dan kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik.

Kalau misalnya bisa memberontak tetapi tidak memiliki ganti yang lebih baik, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan.

Dan juga syarat-syarat yang lain.

Para ulamā telah ketat di dalam masalah ini dan perkara seperti ini dikembalikan kepada para ulamā yang besar, para pembesar ulamā, bukan hanya kepada seorang da’i, seorang ustadz, tetapi dikembalikan kepada ulamā-ulamā besar yang mereka mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik dan mana yang buruk bagi kaum muslimin.

Dan dalīl yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemerintah adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ” Bahwanya kita diperintahkan untuk mendengar dan taat kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan”

إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.”

(HR Muslim 3423/1839)

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا

Mendengarlah kalian dan taatlah kalian,

فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.

Artinya di dalam perintah tersebut, pemerintah dan juga penguasa memiliki peraturan-peraturan, di antara peraturan tersebut ada yang sesuai dengan syar’iat Allāh dan rasūl Nya dan ada di antara peraturan tersebut yang tidak sesuai.

Yang sesuai dengan syar’iat Allāh dan rasūl Nya, maka kita diwajibkan untuk mendengar dan juga taat.

Disebutkan oleh para ulamā contohnya (misalnya) peraturan lalu lintas.

Kita diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas, dilarang parkir di sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka harus berhenti, maka ini adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama.

Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut di dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-peraturan ini tidak bertentangan dengan syar’iat Allāh dan juga rasūl Nya.

Namun ketika membuat peraturan yang di situ ada kemaksiatan kepada Allāh dan Rasūl Nya maka tidak boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam peraturan tersebut dan dia masih diwajibkan untuk mendengar dan taat didalam peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan Al Qurān dan hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Kemudian beliau mengatakan وَقَدَرًا, demikian pula dari segi taqdir, Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan baik dengan syar’iat maupun dengan taqdir.

Maksudnya dengan taqdir adalah dengan apa yang kita lihat, disekitar kita, kita bisa bedakan antara sebuah negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat kepada penguasanya, dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak taat kepada pemerintahnya.

Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya melakukan ketaatan dan mendengar apa yang diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan keamanan di dalam negara tersebut, ketenangan, nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia, dengan leluasa mereka beribadah, melakukan haji setiap tahun, melakukan shalāt lima waktu secara berjama’ah, mendirikan shalāt hari raya, juga syar’iat-syar’iat yang lain.

Dan dengan leluasa mereka melakukan kegiatan dunia, berdagang, bepergian, karena rakyatnya mendengar dan taat kepada pemerintahnya.

Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak mendengar dan tidak taat kepada pemerintah, keamanan tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan mereka merasa tidak aman, baik ketika beribadah maupun dalam melakukan kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara mereka yang tidak bisa melaksanakan haji, takut untuk shalāt berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk menggunakan jilbab dan juga perkara-perkara yang lain.

Beda antara sebuah negara yang rakyatnya taat kepada penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak taat kepada penguasa.

Oleh itu beliau mengatakan: شَرْعًا وَقَدَرًا. “Baik secara syar’iat maupun taqdir”, taat kepada pemerintah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.

Wallāhu Ta’āla a’lam, itulah yang bisa kita sampaikan.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Halaqah 12 ~ Penjelasan Pokok Ketiga Bagian 3"

Posting Komentar