Halaqah 88 | Landasan Ketiga Ma’rifatul Nabiyyikum Muhammadin – Dalil Wafatnya Rasulullah ﷺ Bag 02
بسم اللّه الرحمن
الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن والاه
Halaqah
yang ke-88 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al Ushūlu AtsTsalātsah wa
Adillatuhā yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb At Tamimi
rahimahullāh.
Kemudian
Abu Bakar membacakan firman Allah ﷻ
قَالَ اللَّهُ تعالى
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا
رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ
ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن
يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡٔٗاۗ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
[Aali ‘Imran:144]
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا
رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Dan
tidaklah Muhammad kecuali dia adalah seorang rasul
قَدۡ خَلَتۡ مِن
قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Telah
berlalu sebelumnya para rasul yang lain
Bukankah
kita meyakini bahwasanya Musa telah meninggal dunia, bukankah kita meyakini
bahwasanya Ibrahim telah meninggal dunia, bukankah kita meyakini bahwasanya
Shaleh, Hud, telah meninggal dunia. Muhammad ﷺ
ini adalah rasul seperti telah berlalu sebelum beliau para rasul dan semuanya
meninggal dunia kecuali nabi ‘Isa ‘alaihissalam, Allah ﷻ kehendaki beliau untuk hidup dan akan diturunkan di akhir
zaman.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا
رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ
قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ
Apakah
seandainya beliau ﷺ meninggal dunia atau
beliau ﷺ terbunuh kemudian kalian kembali mundur
kembali murtad.
Kita
menyembah kepada Allah ﷻ bukan menyembah
kepada Muhammad ﷺ, beliau ﷺ meninggal seperti meninggalnya rasul-rasul
sebelumnya. Jadi seandainya beliau ﷺ
meninggal dunia maka ini tidak sampai mengguncangkan keimanan seseorang sampai
menghilangkan keimanan seseorang, tapi dia beriman beliau ﷺ adalah Rasul seperti rasul-rasul yang lain yang meninggal
dunia.
Maka
Ibnu Abbas menceritakan
وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ
لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الآيَةَ حَتَّى تَلاَهَا أَبُو
بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ كُلُّهُمْ، فَمَا أَسْمَعُ بَشَرًا مِنَ
النَّاسِ إِلَّا يَتْلُوهَا
Demi
Allah ﷻ, kata Abdullah Ibnu Abbas, sepertinya
manusia saat itu tidak mengetahui bahwasanya Allah ﷻ
menurunkan ayat ini sampai dibaca oleh Abu Bakar As-Siddiq
Padahal
mereka sudah mendengarnya, cuma kematian nabi bukan kematian yang biasa, mereka
sangat cinta kepada Rasulullah ﷺ, mereka merasa hidup
mereka menjadi terang benderang, Madinah ini menjadi terang benderang dengan
kehadiran beliau ﷺ
Ketika
meninggal dunia maka mereka ditimpa oleh rasa sedih yang luar biasa sampai
mungkin ayat yang sebenarnya mereka sudah baca sebelumnya, ketika Abu Bakar
As-Siddiq membaca di hadapan mereka seakan-akan mereka baru mendengarnya
pertama kali.
Maka
disebutkan disini bahwasanya manusia saat itu kemudian mereka membaca ayat
tadi, meyakinkan pada dirinya bahwasanya Muhammad ﷺ
ini adalah, yang sangat dia cintai yang sangat dia rindukan dan sangat
bersyukur kepada beliau ﷺ dengan sebab beliau ﷺ mereka mendapatkan hidayah, beliau ﷺ adalah manusia seperti yang lain pasti
akan meninggal dunia dan akan berpisah.
Ini
menunjukkan yang pertama tentang keutamaan Abu Bakar As-Siddiq, Allah ﷻ berikan beliau ketenangan plus ketegasan.
Kalau memang ini adalah haqq maka beliau tidak takut untuk menyampaikan itu
kepada manusia meskipun di depan orang seperti Umar. Beliau punya ketegasan.
Kemudian
di antara faidah yang bisa kita ambil di sini, tentang ilmu beliau, jadi banyak
saat itu perkara-perkara yang diperselisihkan oleh manusia bisa diselesaikan
dengan baik oleh Abu Bakar As-Siddiq, dengan ilmu yang beliau miliki, ini salah
satu diantaranya.
Ketika
manusia berselisih pendapat tentang perkara yang besar yaitu siapa yang menjadi
khalifah setelah Rasulullah ﷺ, berkumpul Muhajirin
dan Anshar sampai diantara mereka ada yang mengatakan ‘minna amirun wa minkum
amir’ kita punya Amir kalian juga punya Amir.
Jadi
orang-orang Muhajirin mengangkat Amir dan orang-orang Anshar juga mengangkat
Amir, perkara yang besar yaitu berselisih tentang siapa yang berhak untuk
menjadi khalifah setelah Rasulullah ﷺ.
Yang memecahkan adalah Abu Bakar, beliau mengatakan kepada manusia bahwasanya
beliau mendengar dari Nabi ﷺ
اْلأَءِمَّةُ مِنْ
قُرَيْشٍ
Para
imam itu adalah dari Quraisy
Para
pemimpin para khulafa adalah dari Quraisy, bukan karena beliau ingin mengangkat
beliau sebagai Imam sebagai khalifah, belum menyampaikan apa yang didengar dari
Nabi ﷺ. Nabi ﷺ
mengatakan ‘An-Naas, taba’un li Quraisy, muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum
li kafirihim’, manusia ini mengikuti orang-orang Quraisy, maksudnya adalah di
dalam masalah kepemimpinan.
Orang-orang
Islam maka mereka menjadikan orang-orang Quraisy sebagai pemimpin mereka,
khalifah mereka adalah orang-orang Quraisy. Selama di sana masih ada orang
Quraisy yang dia berhak untuk menjadi seorang pemimpin maka dia harus
didahulukan dari pada yang lain.
Seandainya
tersisa dua orang, satunya orang Quraisy dan satunya bukan orang Quraisy, dan
yang orang Quraisy sini dia punya sifat-sifat yang dengannya dia berhak menjadi
seorang pemimpin maka kita harus mendahulukan orang Quraisy. Karena Nabi ﷺ menganjurkan dan mengatakan bahwa imam-imam
itu adalah dari Quraisy.
Jadi
mereka adalah pemimpin termasuk ketika di zaman Jahiliyah orang-orang Quraisy
ini sudah menjadi yang dikedepankan yang didahulukan, makanya Nabi ﷺ mengatakan ‘muslimuhum li muslimihim wa
kafiruhum li kafirihim’, mereka memang semenjak zaman jahiliyah sudah
diutamakan dan sudah dikedepankan.
Ketika
mereka Islam pun Allah ﷻ masih memuliakan
mereka, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lebih berhak menjadi
khalifah. Makanya setelah Rasulullah ﷺ
semuanya dari Quraisy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, muawiyah, Yazid dan
seterusnya, baik dari Bani Abbas maupun dari bani Umayyah dua-duanya adalah
dari Quraisy.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
0 Response to "Halaqah 88 | Landasan Ketiga Ma’rifatul Nabiyyikum Muhammadin – Dalil Wafatnya Rasulullah ﷺ Bag 02"
Posting Komentar