Halaqah 12 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ﷻ Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 02
السلام عليكم ورحمة
الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن وله
Halaqah
yang ke-12 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah
yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Kemudian
beliau mengatakan
مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ
وَلاَ تَعْطِيلٍ، وَمِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلاَ تَمْثِيلٍ
Ahlul
sunnah wal jamaah mereka menetapkan apa yang Allāh ﷻ
dan juga rasul-Nya tetapkan sebagaimana datangnya namun مِنْ غَيْرِ تَحْرِيفٍ, tanpa mereka melakukan taḥrīf.
Dan
taḥrīf secara bahasa artinya adalah taghyīr, merubah dan perubahan di sini bisa
merubah dengan cara menambah huruf atau mengurangi huruf atau bisa juga dengan
merubah harokat, berarti perubahan di sini bisa berupa perubahan yang berkaitan
dengan lafadz dari sifat tersebut.
Maka
ini termasuk taḥrīf, contohnya adalah apa yang dilakukan oleh sebagian mereka
ketika membaca firman Allāh ﷻ
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ
مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا
[An-Nisa’:164]
Kemudian
merubahnya, merubah harokat lafdzul jalālah menjadi fatha, kemudian membacanya وَكَلَّمَ ٱللَّه مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا, dirubah harokat.
Harokat yang asalnya adalah وَكَلَّمَ ٱللَّهُ
berarti Allāh ﷻ (lafdzul jalālah) di
sini sebagai fa’il, Allāh ﷻ yang kallam
(berbicara) kepada Musa sesuai dengan keagungan-Nya, dengan pembicaraan yang
sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan bicaranya makhluk, demikian ahlus
sunnah menetapkan. Namun al-muḥarrif (orang yang ingin merubah, mentaḥrīf) dia
rubah harokatnya dan mengatakan dan membacanya
وَكَلَّمَ ٱللَّه
مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا
Dan
Musa berbicara kepada Allāh ﷻ, dibalik, bukan Allāh
ﷻ yang berbicara kepada Musa tapi Musa yang
berbicara kepada Allāh ﷻ, maka ini termasuk
taḥrīf lafdzi, perubahan yang berkaitan dengan lafadz, ahlul sunnah tidak
melakukan yang demikian. Nabi Musa ‘alaihissalam adalah kalimullāh, ini adalah
keistimewaan yang Allāh ﷻ berikan kepada beliau
karena Allāh ﷻ berbicara dengan
beliau, tidak semua nabi Allāh ﷻ berbicara langsung
kepada mereka, Allāh ﷻ mengatakan
تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ
فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُۖ
[Al Baqarah:253]
Ada
diantara mereka yang Allāh ﷻ berbicara
kepadanya, termasuk diantaranya adalah Nabi Musa.
Kalau
dibaca وَكَلَّمَ ٱللَّه مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا
Musa berbicara kepada Allāh ﷻ, maka hamba-hamba
Allāh ﷻ mereka semuanya pernah berbicara kepada
Allāh ﷻ, ketika mereka mengatakan ya Allāh ﷻ ya Rabb berbicara kepada siapa, mereka
tidak lain kecuali mereka berbicara kepada Allāh ﷻ.
Kalau hamba yang berbicara kepada Allāh ﷻ
maka hamba-hamba Allāh ﷻ mereka berbicara
kepada Allāh ﷻ di dalam dzikirnya
didalam doanya.
Maka
ini dinamakan dengan taḥrīf lafdzi, dan di sana ada taḥrīf merubah dari sisi
makna seperti misalnya orang yang memaknai istawa yang asalnya adalah ‘ala
wartafa’a, washa’ada wastaqarr, meninggi, kemudian merubah namanya menjadi
istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya adalah
menguasai. Maka ini merubah makna yang benar yang sesuai dengan bahasa Arab,
kemudian dirubah dengan istawla dan al-mutaakhirūn mereka menamakan tahrifun
ma’nawi ini dengan takwil, dan hakikatnya adalah tahrifun ma’nawiun, ini adalah
merubah dari sisi maknanya cuma mereka datangkan istilah-istilah yang baru
sesuai dengan keinginan mereka untuk mengelabui manusia, seakan-akan dengan
kalimat tersebut mereka adalah orang yang akalnya matang, orang yang pandai,
orang yang lebih paham tentang Al-Qur’an, ini adalah takwilnya, maka ini
dinamakan dengan tahrifun maknawiyun.
Ahlul
sunnah tidak melakukan yang demikian, ahlul sunnah wal jamaah memaknai
sifat-sifat Allāh ﷻ dengan makna yang
benar, yang sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan apa yang dipahami oleh
para salaf, bukan memaknai istawa dengan istawla dan akan datang pembahasan
khusus tentang sifat Allāh ﷻ istawa.
Kemudian
وَلاَ تَعْطِيلٍ
Dan
mereka tidak menta’thīl, ta’thīl dalam bahasa Arab artinya adalah mengosongkan
atau mengingkari. Allāh ﷻ mengatakan wabi’ri
muaththola, dan sumur yang kosong yang ditinggalkan orang tidak dipakai, itu
dinamakan dengan bi’r muaththola
وَلاَ تَعْطِيلٍ
Mereka
ahlussunnah wal jama’ah menetapkan tanpa mereka menta’thīl, yang dimaksud
menta’thīl dengan sifat Allāh ﷻ diantaranya adalah
mengingkari, mengingkari sifat Allāh ﷻ.
Allāh ﷻ mengatakan istawa dia mengatakan Allāh ﷻ tidak istawa tapi istawla, berarti di sini
dia mengingkari, mengingkari terlebih dahulu baru setelah itu dia mentaḥrīf,
jadi dua-duanya sekaligus.
Karena
ketika dia mengatakan tidak istawa berarti dia mengosongkan, mengingkari sifat
Allāh ﷻ, ketika dia mengatakan tapi adalah istawla
berarti di sini dia mentaḥrīf maknanya. Berarti setiap muḥarrif adalah
muaththi, setiap orang yang mentaḥrīf berarti dia muaththi, tidaklah dia mentaḥrīf
kecuali dia menta’til terlebih dahulu. Dia mengatakan tidak istawa ini ta’til,
setelah itu dia mengatakan tapi istawla di sini mentaḥrīf.
Apakah
setiap yang muaththil dia muḥarrif, belum tentu. Ada sebagian yang dia
muaththil, dia mengingkari dan dia tidak mendatangkan makna yang baru, hanya
mengatakan Allāh ﷻ tidak beristiwa, di
situ saja tanpa dia mendatangkan makna yang baru, maka ini berarti muaththil
saja. Berarti kullu muḥarrifin muaththil, wa laysa kullu muaththilin muḥarrif.
Jadi
terkadang seseorang menta’til sifatnya dan terkadang seorang menta’til
lafadznya dan juga terkadang menta’til maknanya. Maka Ahlussunnah Wal jamaah
tidak melakukan ta’til, mereka beriman kepada nama dan juga sifat Allāh ﷻ yang sudah Allāh ﷻ
dan juga rasul-Nya tetapkan. Bagaimana mereka berani untuk menafikan apa yang
Allāh ﷻ tetapkan, mereka adalah orang-orang yang
biasa, tunduk terhadap kabar-kabar Allāh ﷻ,
apa yang Allāh ﷻ kabarkan kepada
mereka, mereka benarkan. Yu’minūna bil ghaib, mereka adalah orang-orang yang
beriman dengan perkara yang ghoib, dan nama dan juga sifat Allāh ﷻ ini adalah perkara yang ghoib مِنْ
غَيْرِ تَحْرِيفٍ وَلاَ
تَعْطِيلٍ.
Dan
muaththila disini mereka bertingkat-tingkat, ada diantara mereka yang
mengingkari nama Allāh ﷻ dan juga sifat-Nya
seperti jahmiyah, ada diantara mereka yang menetapkan nama dan juga mengingkari
sifat, dan ada diantara mereka yang menetapkan nama, menetapkan sebagian sifat
dan mengingkari sebagian sifat, ini juga termasuk muaththila. Mereka
bertingkat-tingkat semuanya masuk di dalam muaththila yaitu orang-orang yang
menta’til.
Kemudian
beliau mengatakan
وَمِنْ غَيْرِ
تَكْيِيفٍ وَلاَ تَمْثِيلٍ
Dan
mereka menetapkan sifat Allāh ﷻ tanpa takyīf, dari
kata kayyafa – yukayyifu – takyīfan, artinya adalah ja’ala lillahi kaifiyyah,
menentukan bagi Allāh ﷻ atau membuat bagi
Allāh ﷻ kaifiyyah yaitu cara, menentukan
bagaimananya, menentukan kaifiyahnya inilah makna kayyaf. Dan bukan yang
dimaksud dengan takyīf disini adalah bertanya bagaimana, tidak. Bertanya
tentang bagaimana Allāh ﷻ, betul ini adalah
pertanyaan yang tidak benar, bertanya tentang bagaimananya ini adalah tidak
benar dan ini adalah bid’ah dalam agama tapi itu tidak dinamakan dengan takyīf.
Takyīf
artinya adalah menentukan kaifiyyah, kayyafa – yukayyifu – takyīfan artinya
adalah ja’ala lahu kaifiyyah. Seandainya ada pertanyaan apa yang dimaksud
dengan takyīf jangan dijawab bertanya tentang bagaimana, bukan bertanya, tapi
takyīf adalah menentukan kaifiyyah. Ahlussunnah Wal jama’ah tidak menentukan
kaifiyyah, tidak menentukan Allāh ﷻ
itu tangannya seperti ini, Allāh ﷻ
istiwanya seperti ini, Ahlul sunnah tidak melakukan yang demikian.
Mereka
mengatakan Allāh ﷻ beristiwa tapi sama
sekali mereka tidak menentukan bagaimana Allāh ﷻ
beristiwa, nanti akan disebutkan kenapa mereka tidak melakukan yang demikian.
Jadi tidak ada kelaziman menetapkan Allāh ﷻ
beristiwa atau Allāh ﷻ memiliki sifat,
kemudian pasti kita ini menentukan kaifiyyah, tidak, bukan merupakan kelaziman
bahwa Isbat mengharuskan kita untuk menentukan kaifiyyah.
Kita
meyakini adanya malaikat dan bahwasanya dia memiliki sayap dan kita memahami
makna sayap tapi menentukan bagaimana sayapnya malaikat kita tidak bisa, kita
tidak pernah melihat malaikat. Kita mengitsbat bahwasanya di dalam surga ada
buah-buahan
وَأُتُواْ بِهِۦ
مُتَشَٰبِهٗاۖ
[Al Baqarah:25]
Mereka
diberikan buah-buahan yang serupa, yaitu serupa dengan apa yang mereka lihat di
dunia dari sisi wujudnya mungkin atau warnanya, tapi hakekatnya, rasanya
berbeda. Kita dikabarkan tentang hurun ‘in (wanita-wanita yang cantik dalam
surga), kita dikabarkan tentang qasr (istana) di dalam surga itu semua kita
pahami dan kita tetapkan namun kita tidak bisa menentukan bagaimana hakikat
karena kita tidak diberitahukan oleh Allāh ﷻ
tentang bagaimana hakikatnya, cuma dikabarkan kepada kita tentang adanya
kenikmatan-kenikmatan tersebut.
Demikian
pula Ahlussunnah mereka menetapkan sifat Allāh ﷻ
tapi mereka tidak men takyīf (tidak menentukan bagaimananya)
وَلاَ تَمْثِيلٍ
Dan
mereka tidak mentamtsīl, yang dimaksud dengan tamtsīl adalah menjadikan bagi
Allāh ﷻ matsil (sesuatu yang sebanding atau
serupa) atau mumatsil (sesuatu yang serupa dengan Allāh ﷻ). Contohnya misalnya mengatakan bahwa istiwa Allāh ﷻ seperti istiwanya raja fulan, tangan Allāh
ﷻ seperti tangannya fulan berarti di sini
mendatangkan mumatsil, mendatangkan sesuatu yang dibandingkan. Kalau takyīf
tadi apakah harus mendatangkan sesuatu yang dibandingkan, tidak harus,
seandainya dia mengatakan tangan Allāh ﷻ
itu demikian dan demikian, ini berarti menentukan kaifiyyahnya, tidak harus dia
mendatangkan mumatsil (sesuatu yang dibandingkan) dengan tangan Allāh ﷻ
Maka
disini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya setiap mumatsil mukayyif,
kullu mumatsilin mukayyif, setiap orang yang mumatsil maka dia telah menentukan
kaifiyyah, wa laysa kullu mukayyifin mumatsilan, dan tidak semua orang yang
mukayyif kemudian dia dinamakan mumatsilan, karena orang yang mentakyīf
(menentukan kaifiyyah) belum tentu dia mendatangkan sesuatu yang dibandingkan
diantara makhluk.
Demikian
ahlu sunnah wal jama’ah, ini adalah kaidah yang harus kita pahami, menetapkan
tanpa kita merubah lafadznya, tanpa kita merubah maknanya, tanpa kita menta’wil.
Menetapkan tanpa kita menta’til, tanpa kita mengingkari maknanya atau
mengingkari sebagian sifat-Nya, menetapkan sebagian yang lain. Kita mengitsbat
tanpa kita menentukan kaifiyyahnya, tanpa kita menentukan sesuatu yang
sebanding dengan Allāh ﷻ. Ini kaidah yang
kalau kita pahami, membantah banyak syubhat yang didatangkan oleh orang-orang
yang menyimpang di dalam masalah nama dan juga sifat Allāh ﷻ.
Itulah
yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
0 Response to "Halaqah 12 | Beriman Kepada Sifat-Sifat Yang Allāh ﷻ Sandangkan Pada Diri-Nya Di Dalam Kitab-Nya Dan Sifat-Sifat Yang Rasul-Nya Sandangkan Pada-Nya Bag 02"
Posting Komentar